Maafkan aku yang sekali lagi merindumu.
Mengusik tenangmu.
Menganggu setiap inci dari kebahagiaanmu.
Aku tahu rasa ini mungkin tidak akan kekal.
Seperti halnya kamu. Yang memilih pergi.
Beri aku waktu sedikit lagi.
Untuk membiasakan diri.
Bahwa kini aku tanpamu.
Aku masih duduk di bangku cemas tepat pada meja curiga. Menyudut cemburu, menanyakan kabarmu pada kesibukanmu, berharap ada sedikit aku di sela hidupmu.
Berapa harga sebuah tanggal merah? Aku ingin membeli semua kesibukanmu.
Kau pembohong.
Kau tak pernah sibuk. Hatimu yang tak pernah terketuk.
Kau pendusta.
Kau tak pernah tak punya waktu. Hatimu yang mungkin telah terisi sosok baru.
Aku masih ingat satu waktu ketika kau menyambutku dengan segelas air di ruang tamu. Kau dan aku bertukar janji akan seperti apa kita nanti di masa tua. Aku menyanjungmu begitu dalam, kau memujiku seperti tak ada pria lain yang pernah di lahirkan. Didekatmu cita-citaku hanyalah menjadi telinga; mendengarkan suaramu adalah alasanku tetap ada di dunia. Di kejauhanmu, tujuan hidupku hanyalah pulang. Melihat kau menua adalah alasanku menjaga degub jantungmu tetap tenang. Bibirmu terus berirama mengeja kata demi kata. Kau menjadi begitu angkuh menceritakan kejadian. Semua hal yang kau banggakan, semua bahagia yang ingin kau sampaikan. Bukan karyaku yang kau beri tanda seru bukan pula setiaku yang meriuh haru. Kita terpisah jarak, dan disitulah muara cerita bergejolak.
Perih.
Nadiku berdenyut lirih.
Kita berada di bawah angkasa yang sama, tetapi kenyataannya atmosfer kita jauh berbeda. Kaulah poros kenapa rinduku bisa terisi, tetapi bukan aku yang kau jadikan alasan berotasi. Aku termakan delusi. Aku terlalu berharap kita bisa mengulangnya lagi.
Mimpi-mimpi kita sudah tak ada bedanya dengan dongeng menjelang tidur. Aku tak mau berdebat lagi tentang hal-hal yang bisa membuat dadaku semakin sesak dan harapku semakin terbentur. Telah berulang kali aku mengakui, aku mencintaimu tanpa alasan! Lalu bagian mana lagi yang terus menerus kau pertanyakan?! :")
Aku masih ingin mengungkap indahmu lewat sajakku. Terlalu lama aku memikirkan kata, sekejam itu kau balas dengan berdiam tanpa kata.
Aku salah.
Aku bukanlah telinga. Aku hanya terpesona.
Aku bodoh.
Bahagia kita pernah merekah indah tanpa sedikit pun gelisah, saat lantunan rindu alasan setiap pertemuan, saat mencintaimu bukan hanya sekedar lamunan. Semurung mendung sederas hujan, mimpiku menuai hebat pada ketiadaan. Aku tengah mengaduk sedak sembari mengiris senja di pelataran logika. Mencari jejak terakhirmu di serpihan tawa, memungut sisa senyumanmu yang dulu biasa kini tiada.
Aku bertemu anak kecil yang mirip sekali denganmu.
Yang selalu menagihku coklat saat bertemu.
Tapi disaku ku hanya ada kembang gula.
Dia tidak suka lalu pergi begitu saja.
Apakah apa apa tentangmu selalu meninggalkanku? :")
Kupahami kecewamu, itu bukti, jika memang ternyata tidak mudah memahami isi kepalaku. Marah lah sepuasmu. Untuk diam dan amarahmu aku selalu memiliki waktu untukmu. Menyatukan dua kepala, dua keinginan, dua pikirian, dua kemauan, butuh banyak waktu untuk benar-benar satu tujuan. Amarahku, tidak sampai aku ingin memukulmu, dan amarahmu tidak pernah sampai membuatmu tidak ingin lagi memelukku. Tenang saja, aku akan mencintaimu dengan keras kepala. Memahamimu itu harus kumenangkan, sesulit apapun keadaanku mencintaimu. Aku harus percaya diri, bahwa tidak ada yang lebih dari aku dalam memahamimu:").
Aku pernah belajar merelakanmu berkali-kali. Melepasmu pergi dengan cinta yang lain. Membiarkan kesempatan memilikimu hilang untukku. Sebab kamu berhak bahagia; meski sesungguhnya aku tidak bahagia dengan keputusan itu. Ketidak beranianku meng-ikatmu, memberikan ruang asing untuk orang lain mendekatimu. Kupikir hidup akan baik-baik saja. Semua harus berjalan seperti sedia kala, kamu dengan seseorang yang memilihmu. Aku dengan hati baru yang mencoba tumbuh di hidupku. Kuberikan hatiku pada seseorang yang lain, kubiarkan dia menggantikanmu. Namun, aku keliru. Melupakanmu ternyata tidak semudah itu.
Kamu pernah ada berjuta-juta gigabyte di memori dalam otakku, kamu pernah riuh kusebutkan dalam doa. Pernah juga kurapalkan namamu dalam tiap desah dan cuaca. Aku pamit untuk tidak lagi melakukan rutinitas ini. Aku pernah mencungkil perhatianmu dengan berusaha membuatmu tertarik. Untuk memberi isyarat, "Hei, lihatlah kesini. Ada aku yang memperhatikanmu. Mengagumimu sekian lama, puluhan hari." Kali ini aku pamit untuk tidak lagi melakukan rutinitas ini.
Kita sama-sama berlari, aku berlari mengejarmu sedangkan kamu berlari ke arah yang lain. Tidak akan pernah bertemu pada titik yang sama. Maka kuputuskan untuk berhenti atau putar haluan pamit undur diri.
Bukan. Kamu salah kalau menebak aku tidak mencintaimu lagi. Masih dan akan selalu. Namun pada akhirnya aku harus mengalah pada logika. Pada serpihan nyata yang menyadarkan bahwa menyudahi perjuangan adalah sesuatu yang benar. Kamu bukan diciptakan untuk diperjuangkan olehku. Atau mungkin aku diciptakan bukan untuk memperjuangkanmu. Ah, barang kali itu yang benar:"). Maka pergilah kamu dengan santai, kini tak ada lagi aku yang mengejar. Kepada yang telah berlalu puluhan hari silam, mungkin memang lebih baik seperti ini. Kamu yang pergi dan aku yang enggan berjanji menunggumu kembali. Sebab sekarang, menyimpanmu dalam kenangan jauh lebih menyenangkan daripada memaksamu kembali hanya sekedar belas kasihan.
Apa kamu tak merindukanku? Sebagai satu yang meninggikanmu meng-iyakan pinta, mengabulkan doa yang kiranya aku mampu untuk menanggungnya. Mengalah pada logika yang sungguh dibatas logika. Memujamu sejatuh-jatuhnya, menjadikanmu ratu pada apa yang kusebut dunia. Sekarang mungkin kamu merindukanku tentu saja, sudah semestinya. Aku adalah setiap jawaban dari pertanyaanmu, aku adalah batas standar keinginanmu dan kupastikan tak akan ada seseorangpun yang mampu melampauiku. Iya, kamu menggantungkan hidupmu kepadaku, tanpa sedikitpun kamu sadari itu. Kamu terlalu terlena pada dunia yang sedikitpun tidak ada aku didalamnya. Kelak, urus saja rindu yang kau bilang mulai menyakiti; bukankah dulu ketika kamu mengabaikan ku pada setiap kesibukanmu akan menghancurkan dirimu sendiri?
Perlahan.
Pasti.
Dan aku mungkin tak akan perduli lagi.
Ini hanya sajakku yang telah lama menumpuk untuk dibaca olehmu.
Apa yang tersisa setelah kepergianmu?
Ponsel yang sunyi tanpa pesan masuk, layar ponsel yang selalu mati, tak ada panggilan darimu dan waktu demi waktu yang senang mengolok-olokku dengan kenangan bermunculan.
Apa yang tersisa setelah kepergianmu?
Lebih dari rasa sakit, hatiku hancur kehilangan percaya. Tak bisa membalas senyum, dan menutup pintu hati. Sekedar membukanya pun tak berani, apalagi membiarkan kesempatan untuk orang masuk.
Aku sudah berkemas
Hingga tidak ada yang bersisa
Tapi ruangannya tak lagi nyaman
Sebab rasaku telah di runtuhkan
Apa yang tersisa setelah kepergianmu?
Menumbuhkan cinta yang baru tidak akan semudah seperti awal aku mencintaimu.
Perihal cinta, ada kalanya tidak harus selalu bersama daripada ada hati yang semakin terluka karena berusaha untuk bertahan padahal sudah waktunya untuk meninggalkan. Bukan karena ingin, tapi di luar logika inilah cara terbaik untuk menghentikan luka. Kau tidak akan pernah mengerti cara cinta bekerja. Suatu hari nanti kamu akan melihatku sebagai orang asing. Seseorang yang dulu pernah kau beri ruang dalam hatimu. Seserang yang tak lagi mampu memberikan harapan kepadamu. Hidup telah mengalihkan semuanya. Namun yang tersisa, tak benar-benar punah adanya. Aku masih kau simpan di relung dadamu, dalam diam dan sepi dan ramai dalam harimu. Kau tidak pernah benar-benar melepaskanku. Katamu, ada perasaan yang tidak bisa dibunuh. Kita pernah saling berpisah raga sebab semesta. Tapi jiwaku dan jiwamu menyatu dalam sujud doa-doa. Kau mencintaiku dengan cinta yang paling tinggi. Kau masih merasa semuanya adalah milikmu yang tak bisa kau miliki. Biarlah semua berjalan sendiri-sendiri. Tapi semua yang ada dalam diriku, tak pernah pergi dalam dirimu. Melekat membatu. Sesekali datang sebagai rindu.
Aku? Sedang tidak baik-baik saja. Hatiku masih patah, rasa ku masih gelisah. Bahkan dalam diriku ada rasa resah yang tengah menggundah. Jadi tolong jangan pernah menanyakan apa kabar padaku. Sebab aku tak akan baik-baik saja. Tanpa dia.
Segenggam malam yang kelam tak pernah ingin ku antar untuk matamu yang siang. Biar aku saja yang terendam kesedihan dalam gelap bintang. Biar aku saja yang terluka, dan kau bahagia..
Bahkan aku ingin mengantar untukmu senja, sebagai lautan doa untukmu agar tetap bisa tertawa. Aku ingin kau berhenti untuk mengingatku sebagai setumpuk luka. Aku ingin kau berhenti mengingat namaku sebagai yang pernah ada:").
Biar saja aku disini hilang di antara entah. Gelap tanpa arah. Menangis gelisah, menanggung duka dalam kisah. Karena aku ingin kau bahagia dengan entah apapun caranya. Tak apa, jika kau harus menghapusku dalam ingatan. Tak apa pula, jika kau mencari seseorang yang lebih pantas mendampingi waktumu sesisa kehidupan. Aku akan mendoakanmu tanpa putus, sebab demi kau; kebahagiaan yang harus.
Tak apa, kasih..
Jika keberdamaan kita harus mati di tangan perpisahan. Sebab memilikimu kemarin, sudah cukup membuatku memahami indahnya pertemuan(bahkan perpisahan itu sendiri.)
-Kita, adalah dua hati yang sudah enggan bertegur harap dalam janji.-