Selasa, 11 Juli 2017

Merayakan kepergian.

Hei, apa kabar?
Aku rasa kau baik-baik saja, sesekali aku menengok dan kau tak lagi menulis tentang kehilangan.
Bagaimana harimu?
Ingin sekali ku tanyakan, namun aku berusaha sedingin yang aku bisa di setiap chatan. Bukan karena sombong, juga bukan mengartikan pengganti barumu sudah membahagiakan aku, bukan. Namun agar membunuh apa yang kembali hendak tumbuh di setiap kau menyapa walau sesaat. Banyak orang baik yang datang setelah kau pergi, sama seperti kisahmu, banyak sosok yang ingin menggantikan tempatku dihatimu. Aku menulis bukan untuk kau baca, bukan untuk membuatmu merasa tersindir, namun kembali tapi, aku menulis untuk melakukan apa yang biasa aku lakukan ketika kau menyapa; membunuh rasa yang perkahan kembali ada. Dengan menulis ini, aku kembali tersadar, kau telah pergi dan aku kembali tersakiti.
Lihatlah dirinya, tanpamu dia baik-baik saja. Tanpamu dia bahagia. Kau sendiri tahu betapa sering dirinya pergi dan tertawa dengan orang-orang baru setelah tak lagi denganmu.
Apakah kau sadar?
Bahwa kehilanganmu, ia tak apa. Bahwa ditinggalkanmu ia tak kesepian.
Tak ada barang darimu di kamarnya. Tak ada satu pun foto tentangmu diponselnya. Yang ada hanya senyum tabpa beban yang ia tunjukkan setiap mereka bertanya perihal kau sekarang ada dimana. Kau sama sekali tak membekas di hatinya. Baginya kau hanya pembunuh waktu.
Mau betapa kali kau tetap membaca cerita tentang sakit hati? Membaca tulisan tentang hati yang ditinggal pergi? Membaca kalimat tentang hati yang di lukai?
Mau berapa kali kau menulis tentangnya?
Ayolah, menyerah sudah.


Kepada, seseorang yang fotonya pernah ada di setiap tempat spesial yang aku siapkan.
Well...
Mungkin ini adalah sajak yang beberapa kali aku tulis, namun tak pernah kau rasa. Tak apa, ia memang tercipta seperti itu, atau lebih tepatnya seperti kisah kita kemarin, mungkin? Hahahaha, maaf, maaf, aku tak bermaksud membuatmu tersinggung lagi.
Oke.. baiklah..sajak ini aku tulis bukan tanpa alasan juga, melainkan ada beberapa hal yang menggerakkan jemariku untuk kembali menuliskan namamu lagi disini. Ah tidak, aku tidak mingkin menuliskan namamu disini. Kau... Kau... Namamu terlalu indah, sekaligus terlalu menyakitkan untuk ditulis di sini.
Malan ini aku akan menceritakan apa maksud dari setiap kata "aku gapapa" yang kau dapatkan, ketika kau bertanya kepadaku setiap aku terdiam. Aku bukan bermaksud menjadi seseorang yang egois dan kekanak-kanakan karena memilih untuk tidak berbicara tentang perasaan yang aku rasa, hanya saja aku tahu jika aku bicara, itu mungkin akan mengganggu kebahagiaanmu sekarang ini. Tak enak rasanya aku merusak kebahagiaanmu yang telah dibangun susah payah oleh dirimu seorang, yang kau rela jatuh demi rasa yang telah berlabuh, yang kau pernah menangis hingga hidupmu kau bilang egois.
Ah, aku jadi kembali membicarakan masa lalu. Maaf...maaf...
Namun aku akan jujur. Dari sekian banyak masa lalu yang telah aku lalui, entah mengapa kau yang paling melekat. Rasa-rasanya setiap aku menemui orang baru dan menunjukkannya kepada temanku, mereka akan berkata bahwa orang baru itu mirip dirimu. Tapi tenang saja, aku pun pada awalnya tak percaya. Mungkin ini hanya khayalku saja. Namun, semakin aku mencoba untuk mengelak dari rasa yang aku buat sendiri ini, tanpa sadar aku mencari kau.
Iya, kau.
Aku pandai menasehati orang lain. Mencaci-maki setiap mereka yang bodoh karena bertahan ditinggal pergi. Namun, sekarang aku adalah mereka. Aku mencaci-maki diriku sendiri. Ah! Rasa-rasanya aku semakin membenci diriku sendiri jika menceritakan semua hal ini lagi. Karena, selain aku yang selalu tanpa sadar mencarimu disetiap orang yang aku temu, kau juga tahu bahwa kabarku pernah jauh lebih baik; dan itu adalah ketika aku masih bersamamu.
Aku pun sama sepertimu, tak ingin kita jauh, tak ingin kita seperti orang asing lagi. Tapi jujur saja, aku benci menjadi orang pintar yang sudah terlanjur memenuhi otakku dengan banyaknya pengetahuan bahwa sekarang kau tak lagi mencintaiku--dan yang lebih brengseknya lagi, disini aku masih.
Aku rindu menjadi orang bodoh. Yang mendengarmu menangis setelah dilukai orang lain, yang berani mencintaimu secara luar biasa ketika pergi berkencan untuk kedua atau kesekian kalinya, yang berpura-pura tak apa ketika telingaku dijejali tawamu menceritakan orang lain.
Aku rindu menjadi bodoh! Aku rindu kam..ah maaf salah, aku rindu menjadi bodoh!

"TERIMA KASIH TELAH DATANG, KEMUDIAN PERGI. TERIMA KASIH TELAH MENGAJARKAN BANYAK HAL BAHWA YANG BAIK TAK AKAN SELAMANYA BERAKHIR BAIK. TAHUN INI AKU KEMBALI BERTEMU DENGAN PERTEMUAN DAN PERPISAHAN. NAMUN DI ANTARA SEMUANYA, KEPERGIANMU YANG PALING AKU INGAT. MENYADARKANKU BAHWA SEBENARNYA AKU KUAT."

Tak perlu lagi aku jelaskan.

Dipaksa melepasmu, dulu aku pernah sangat menderita. Meskipun aku menolak untuk mencoba, tapi sikapmu seakan mengatakan bahwa kita tak bahagia bila bersama.

Hanya karena saat itu aku mencintaimu, bukan berarti kau berhak untuk memanfaatkanku.

Walau aku tahu kau tak bermaksud seperti itu, tapi kau telah melakukannya, tanpa kau sadari, dan langsung dari hati. Bahagualah. Melihatmu bahagia tanpa diriku, aku cukup. Tak usah datang menanyakan apa aku bahagia sekarang; kau sudah tahu jawabannya.
Tentu saja aku juga bersalah karena memustukan untuk jatuh terlalu cepat pada cintamu. Namun aku tak bisa menghindar untuk tidak seperti itu. Kau adalah nyaman yang aku cari ketika lelah kaki mencari bahagia. Ketika saat itu kau berkata bahwa ini adalah pilihan yang tepat agar kedua-belah pihak merasa menang.

 Aku rasa demikian.
 Aku tidak cukup penting untuk kau khawatirkan.

Jangan merasa bahwa dirimu adalah pihak yang paling tersakiti jika kau tidak pernah berdiri pada posisiku ini.
Kelak ketika kau telah bahagia dan kembali menemuiku, ingatkan aku untuk belajar agar bisa menjadi seperti dirimu. Yang terlihat tanpa beban dan dengan mudahnya pergi meninggalkanku dulu.

"MAKA BERBAHAGIALAH KAU DENGAN SUKA CITA. SEHINGGA MENYAKITIKU KEMARIN, BUKANLAH SUATU TINDAKAN YANG SIA-SIA."

Kepada kamu,

Aku tak menyangka berbicara berdua atau chat bersama bisa menjadi sesulit ini sekarang. Kita seperti kita yang dulu sebelum saling mengenal. Tapi, bersamaan dengan tulisan ini bolehlan aku menyampaikan sesuatu kepadamu? Kau mau membacanya atau tidak itu terserah dirimu. Sengaja atau tidak sengaja. Sepintas atau berulang-ulang.
Aku tidak akan berkata panjang-panjang, aku harus pergi dari sekarang, dan aku tidak tahu kapan akan kembali, mungkin tidak sama sekali; aku masih belum tahu. Aku hanya ingin kau yahu sebelum aku pergi, nahwa sempat dekat denganmu adalah hal paling indah yang pernah terjadi dalam hidupku. Percayalah.

Nanti ketika aku telah benar-benar pergi, siapa yang akan menyelamatkanmu dari kejamnya orang-orang disekitarmu? Siapa yang akan mengawasi tingkah laku cerobohmu itu? Siapa yang akan mengingatkanmu untuk tidak lupa makan karena sakit maag-mu itu?
Nanti ketika aku telah benar-benar pergi, siapa yang akan mencegahmu untuk terjatuh? Siapa yang akan kau salahkan ketika dunia menyalahkanmu?
Nanti ketika aku telah benar-benar pergi, siapa yang akan mencintaimu sedangkan kau tak bisa mencintai dirimu sendiri?
Dan ketika aku telah memutuskan untuk benar-benar pergi, siapa yang akan menyembuhkan lukamu? Siapa yang akan setia mendengarkan keluh kesahmu? Siapa yang akan menguatkanmu ketika kau tak mampu berdiri?
Siapa?! :")
Walaupun kau tahu aku tak pernah bisa benar-benar pergi dan membiarkanmu tersakiti sendiri. Aku takut ketika suatu saat kau mulai mencari--ternyata saat itu aku telah lama pergi.

Aku sudah bahagia sekarang. Tak perlu kau cemaskan aku lagi.
Aku sudah ditemukan oleh seseorang. Yang seperti kau bilang dulu sebelum pergi meninggalkanku; yang akan benar-benar menyayangiku. Yang akan benar-benar mencintaiku.
Kini aku telah ditemukannya, seseorang yang mencintai aku sebesar cintaku kepadamu dulu; atau bahkan lebih.
Aku sudah bahagia sekarang.
Tak perlu lagi aku khawatirkan kabarku.
Salahmu telah kumaafkan, luka olehmu telah tersembuhkan. Tak perlu lagi merasa bersalah karena meninggalkan aku, tak perlu lagi aku kasihani keadaanku. Hujan dikelopak mataku tak memanggil namamu. Didalam doaku namamu telah digantikan oleh nama yang baru.
Aku sudah bahagia sekarang.
Terima kasih telah memutuskan untuk pergi. Caramu menyakitiku kemarin, adalah cara tuhan mempertemukan aku dengannya; Hari ini.

-Sejujurnya, dulu aku adalah orang yang ping patah saat kamu menginginkan kita pisah.-