Ketika sepotong chat tidak bisa lagi menjadi tiket masuk kedalam kehidupan seseorang, maka yang bisa kita lakukan hanyalah melihat IG story-nya.
Kalian pernah tidak, merasa sebegitu mendebarkannya keyika melihat lingkaran foto dia berwarna merah dibarisan story kalian? ingin melihat, tapi rasanya tifak akan kuat mengetahui dia menghabiskan waktu tanpa melibatkan kita. Ingin dibiarkan, tapi kok ya penasaran.
Lalu, akan pernah ada satu fase dimana jembatan komunikasi yang ada hanya sebatas lihat-lihatan IG story. Dari yang reaksi awalnya marah, sedih, kecewa lalu perlahan-lahan berubah jadi biasa saja karena kita bertoleransi atas apa yang dia lakukan. Kalian akhirnya menyimpulkan; kalau kalian berdua baik-baik saja, walau tanpa kehadiran satu sama lain.
Aku pernah demikian.
Kadang-kadang aku menemukan secarik berita tentang kesehariannya yang rasanya sangat asing di pengetahuanku sekarang atau sepenggal tulisan puitis lewat IG story-nya yang entah dialamatkan kepada siapa. Rasanya, ternyata semerisaukan ini ya?
Dan, mungkin yang dia lupa adalah aku suka bapersangka. Yang walaupun tulisan itu semua memang bukan untukku, aku akan dengan sukarela menganggap itu untukku. Biarlah biar aku merasa senang meski hanya boleh dalam pikiranku saja.
Lingkaran merah tidak akan semenggoda itu, kalau bukan milik dia. bayangkan, sesering apa aku mengetik namanya di kolom search, hingga akunnya berada diperingkat teratas list suggested. Semua demi agar aku tidak terlewatkan sedikitpun kabar tentang dia.
Lalu, aku sadar, aku hanya tak pernah punya cukup daya untuk mengabaikannya.
Tak akan pernah ingin kusampaikan padanya, biar ini kusimpan dalam batinku saja. Walaupun dia sudah membaca ini diam-diam, walaupun dia menyalahkan kebapersangkaan-ku, walaulun dia sangat ingin menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi.
Karena, aku rasa, sekarang semuanya sudah tidak perlu lagi atau mungkin, tidak tepat lagi waktunya.
Karena, aku rasa, hati semakin perih melihatnya tetap bahagia tanpa ada aku yang terlibat dalam kehidupannya.
Bagaimana mungkin aku bisa melewati itu semua? Kalau saja hati masih mengharapkan dia menjadi pengisi?
Sering sekali aku membunuh diri dalam sepi, melihat fotonya dalam galeri, dan aku tau dia mungkin akan kembali, atau mungkin hanya perasaanku saja untuk memperkuat diri? Hari-hari tak pernah sama setelah ia pergi, dan aku disini tetap menanti. Menanti hal yang tak pasti. (Rico Yoshua.)
Tenang, aku tak selalu meminta kau membaca pesanku cepat-cepat. Aku mengerti kau punya kesibukan, balaslah nanti ketika sudah lenggang. Setidaknya ketika kau kesepian, kau masih miliki aku.
Begitupun dengan hidupmu. hidupmu tidak melulu aku. Sapalah teman-temanmu, ikutlah acara mereka, tak perlu meminta izinku. Sepulangmu nanti, ceritakan semua pengalaman bahagiamu sambil menge-chatku.
Aku mengerti kau wanita yang mandiri. Aku cukup paham kau senang bersosialisasi. Tak apa bersenang-senanglah sepuasmu, gembirakan hati dan pikiranmu, hidupnu tak melulu aku. Dan aku setia untuk menunggu pulangmu. Jika saat itu kau kelelahan, mengadulah padaku.
Aku bukanlah lelaki yang baik.
Bagiku jatuh cinta itu mudah, semudah buatmu mencintaiku hanya dalam hitungan jari kita bertemu.
Bosan adalah temanku. Meninggalkanmu yang mencintaiku bisa kulakukan dengan mudah. Semudah membalikkan telapak tangan orang dewasa.
Namun, ketahuilah, lelaki yang tidak baik ini pernah menjadi lelaki yang begitu penurut pada satu perempuan.
Telinganya tak pernah bosan mendengarkan mulut perempuan itu berbicara maupun bernyanyi setiap harinya.
Senyumnya tak pernah pudah mendengarkan seberapa tidak lucu humor-humor yang perempuan itu ucapkan.
Otaknya berputar keras setiap saat hanya untuk mencari materi yang lucu agar perempuannya bisa tertawa.
Segala sikap dan keputusannya menjadi penuh ragu, takut jika perempuan itu tidak menyetujuinya.
Lelaki yang dulu enggan menunduk pada setiap perempuan itu, kini sedang bertekuk lutut memohon untuk dimaafkan.
Lelaki tidak baik itu pernah luluh karena dicintai begitu hebat oleh perempuannya seakan lelaki itu adalah cerminnya.
Salam,
Aku- Lelaki yang pernah menjadi lelaki tidak baik.
Rindu
Senin, 04 Desember 2017
Minggu, 08 Oktober 2017
Penutupan; aku pergi dengan semua perasaan.
Kubiarkan diriku memaku di hadapan jendela, menatap pola kopi yang tertinggal di bibir gelas, sembari menasbihkan tanya dalam pilu.
Apa kabar, kamu?
Aku ingin menyapa tapi aku bingung harus membahas apa. Kalau kau baca ini, dan kau punya sesuatu untuk dibahas, sapa saja aku. Aku rindu, aku menunggumu.
Indah yang fana; barangkali bisa mendatangkan kenikmatan nyata. Bersama senja yang berada diujung cakrawala; Aku mengenang duka, seraya memotret fenomena alam dunia.
Lihat! Matahari kian tenggelam. Tinggal setengah lagi bumi ditelan malam. Namun, bayangmu masih saja membuatku bimbang akan luka yang tengah melebam.
Aku ingin kamu padam.
Dalam artian, menghilang dari pikiran; dalam artian, membunuh kamu dari perasaan.
Dan barangkali ini sudah cukup! Degup ini tak lagi mampu menahan perih yang berletup-letup. Aku ingin lupa akan semua perih yang tertera. Aku ingin lupa atas segala pilu yang ada dalam dada.
Aku ingin lupa terhadap luka; sebab hidupku ingin bahagia.
Aku selalu menelan bulat-bulat luka yang sama. Kuracik sempurna bersamaan dengan kenangan yang telah lama. Tak ada sendawa, tak ada kenikmatan yang terasa. Namun perih selalu mengambil ahli fungsi hati dan logika. Aku dibuat bodoh oleh dampak dari Sang luka.
Kehilanganmu menjadi cambuk, senyumanmu selalu berhasil membuat rindu ini semakin mencambuk.
Kehilanganmu, kopiku tak nikmat lagi. Sebab luka pemberianmulah yang harus kularutkan pada pagi hari. Kuteguk, lalu aku mati.
Kehilanganmu, hatimu hampa. Terurai harapan kosong yang didorong oleh masa. Makin mengenang, luka makin riang dan berpesta.
Mencintaimu mungkin adalah kesalahan besar. Dan berpisah denganmu mungkin akan menjadi sebuah bekas yang menjalar. Tapi terlepas dari itu; aku selalu berjuang untuk melupakanmu. Membunuh secara perlahan. Pelan-pelan dan kelak aku akan menjadi orang yang kamu sesalkan dimasa depan.
Selain mengutarakan apa yang aku rasakan. Menulis kujadikan sarana pemberi pesan; agar kamu dapat mengerti keadaan, kala aku tengah tak mampu menceritakan perih secara lisan. Kamu tak malas membaca, kan? hehe
Jika kau meninggalkan aku untuk bahagia, maka pergi dan jangan pernah kembali lagi. Doaku akan selalu meminta kau bahagia. Demi kau yang hanya menggengamku lalu memuntahkannya kembali. Demi aku yang tak ingin melihatmu kembali hanya ketika kau rindu.
Pergi.
Siapa aku bagimu?
Adalah aku. Yang terjajal begitu banyak nasihat baik dari teman-teman namun tetap menganggap kau yang terbaik.
Adalah aku. Yang selalu berpikir aku berhak mendapatkan kesempatan terakhir setelah kesalahan yang sama.
Adalah aku. Yang pintar dalam membodohi diri sendiri karena percaya kau akan kembali.
Tenang saja, aku tidak akan mengejarmu lagi. Aku akan duduk dengan sedih di sini. Aku lelah mengikuti kamu yang terus berlari. Aku lelah memahami kamu yang tidak pernah memberikan sesuatu yang pasti. Setiap perasaan butuh kepastian, sementara kamu betah bertahan pada keadaan.
"i dont believe time heals everything.
it helps, it does.
afther a while you won't cry about it all the time.
it won't consume every thought anymore.
you'll laugh and smile.
you'll even have a lot of great days.
SURE IT'S GET BETTER."
Kini kuberi hak penuh padamu untuk menjauh. Aku tidak akan memohon lagi. Aku tidak akan memaksakanmu kembali. Aku tidak akan menuntut apapun darimu. Cukup hatiku saja yang kamu buat pilu. Pergilah sejauh apapun kamu mampu. Diam-diam akupun akan memulihkan hatiku lagi, seiring langkahmu berlalu pergi. Pundakku sudah tidak sanggup menahan sedih. Biarlah semuanya berlalu sudah. Namun, kita telah sama-sama memilih. Aku melepasmu pergi, dan kamu tidak pernah menahan diri untuk tetap disini. Kamu senang saat semuanya akan berakhir sebatas kenang.
Namun sudahlah, aku tak pernah menyesali apapun, sebab semuanya sudah sangat patah. Semuanya terasa pedih dan begitu dalam terluka. Aku hanya ingin memulihkan hatiku. Dan, membiarkanmu semakin jauh berlalu. Sedari awal ini perasaanku sendiri, mungkin memang hanya aku yang harus menikmati. Satu hal yang harus kamu ingat. Terkadang, cinta seringkali datang terlambat. :))
Kamu memang sebaiknya terus menjauh, biar aku kembali menata hatiku agar utuh. Sudahlah, semua yang pernah aku harapkan, sudah kubiarkan membeku bersama ingatan. Melebur kedalam setiap kesepian.
Semoga kamu bahagia dengan jalan hidupmu, yang kamu pilih setelah mengabaikan perasaanku kepadamu. Semoga hari-hari baik selalu menyertai langkahmu. Aku juga akan terus berdoa untuk kebaikanku sendiri. Agar luka dihati tidak lagi sesakit ini. Berharap suatu hari nanti kita sama-sama menemukan seseorang yang tepat. Bukan dia yang begitu hebat. Namun, meneduh air mata yang jatuh begitu lebat. Ia yang peduli, bahwa cinta memang tak harus disakiti. Ia yang memilih ada, meski jenuh datang tanpa diduga. Ia yang mengerti, bahwa cinta belajar saling mengimbangi. Melangkahlah demi kebaikan hatimu. Sungguh, aku ingin hal terbaik untuk hidupmu. Biarlah semuanya menjadi cerita, meski lebih banyak luka. Tetaplah bahagia tanpa aku. Kenang saja kita sekedar masa lalu. Kita yang ingin bahagia, tetapi luka lebih cepat datangnya. Sekarang, semuanya terlanjur menjadi kenang. Mungkin sudah saatnya kamu pulang. Sebab, kita tak akan pernah lagi bisa mengulang.
Mengingatmu akan kembali menghadirkan perasaan-perasaan yang berakhir luka. Namun, aku tidak ingin semuanya berlalu begitu saja. Aku ingin menyimpanmu dalam tulisan-tulisan yang kutulis dengan kesedihan. Bukan untuk memamerkan betapa terlukanya aku dulu. Aku hanya ingin saat membaca kembali tulisan itu, kamu tahu betapa aku pernah begitu mencintaimu. Seseorang yang pernah bersungguh-sungguh memohon hatimu. Kita pernah duduk berdua disenja yang sama. Kita pernah berteduh berdua sembari menunggu hujan reda. Kita pernah menghabiskan semangkok kolak dikala itu. Kita pernah melakukan banyak hal-hal indah.
Menulis tulisan ini bukan karena aku ingin kamu menyadari betapa aku mencintai. Lalu, membuatmu merasa menyesal. Tidak begitu tujuanku. Aku hamya ingin memastikan pada diriku sendiri. Mencintaimu adalah hal yang tak mudah kulupakan, meski kenyataannya aku tetap saja berjalan. Aku memilih bertahan demi janjiku. Kamu sama sekali tidak peduli bukan? Bagaimana aku bisa hidup denganmu, sementara kamu tidak lagi menerima hidupku?
Kali ini aku ingin mengingatmu berkali-kali. Bukan untuk memintamu kembali. Bukan untuk membawamu hidup lagi dalam hidupku. Aku hanya ingin mengenang masa-masa sulit. Masa-masa dulu bagaimana bertahan sakit. Bagaimana berjuang dan bangkit. Bagaimana mencari jalan pulang setelahku patah hatikan dan buang. Aku ingin mengingat dan mengenang semuanya. Lalu, menuliskannya dalam kata-kata. Senoga, kelak kenangan bisa kujadikan buku. Agar tak sia-sia sebagai masa lalu. Mungkin akan kamu baca, atau mungkin hanya untuk kusimpan. Namun, menuliskan kenangan adalah salah satu cara untuk menenangkan.
-Begitu sulitnya aku menepikan kamu dari kenangan. Sekalipun hati telah kau remukkan berkali-kali. Selalu ada serpihan yang terus menginginkan kau kembali.-
Apa kabar, kamu?
Aku ingin menyapa tapi aku bingung harus membahas apa. Kalau kau baca ini, dan kau punya sesuatu untuk dibahas, sapa saja aku. Aku rindu, aku menunggumu.
Indah yang fana; barangkali bisa mendatangkan kenikmatan nyata. Bersama senja yang berada diujung cakrawala; Aku mengenang duka, seraya memotret fenomena alam dunia.
Lihat! Matahari kian tenggelam. Tinggal setengah lagi bumi ditelan malam. Namun, bayangmu masih saja membuatku bimbang akan luka yang tengah melebam.
Aku ingin kamu padam.
Dalam artian, menghilang dari pikiran; dalam artian, membunuh kamu dari perasaan.
Dan barangkali ini sudah cukup! Degup ini tak lagi mampu menahan perih yang berletup-letup. Aku ingin lupa akan semua perih yang tertera. Aku ingin lupa atas segala pilu yang ada dalam dada.
Aku ingin lupa terhadap luka; sebab hidupku ingin bahagia.
Aku selalu menelan bulat-bulat luka yang sama. Kuracik sempurna bersamaan dengan kenangan yang telah lama. Tak ada sendawa, tak ada kenikmatan yang terasa. Namun perih selalu mengambil ahli fungsi hati dan logika. Aku dibuat bodoh oleh dampak dari Sang luka.
Kehilanganmu menjadi cambuk, senyumanmu selalu berhasil membuat rindu ini semakin mencambuk.
Kehilanganmu, kopiku tak nikmat lagi. Sebab luka pemberianmulah yang harus kularutkan pada pagi hari. Kuteguk, lalu aku mati.
Kehilanganmu, hatimu hampa. Terurai harapan kosong yang didorong oleh masa. Makin mengenang, luka makin riang dan berpesta.
Mencintaimu mungkin adalah kesalahan besar. Dan berpisah denganmu mungkin akan menjadi sebuah bekas yang menjalar. Tapi terlepas dari itu; aku selalu berjuang untuk melupakanmu. Membunuh secara perlahan. Pelan-pelan dan kelak aku akan menjadi orang yang kamu sesalkan dimasa depan.
Selain mengutarakan apa yang aku rasakan. Menulis kujadikan sarana pemberi pesan; agar kamu dapat mengerti keadaan, kala aku tengah tak mampu menceritakan perih secara lisan. Kamu tak malas membaca, kan? hehe
Jika kau meninggalkan aku untuk bahagia, maka pergi dan jangan pernah kembali lagi. Doaku akan selalu meminta kau bahagia. Demi kau yang hanya menggengamku lalu memuntahkannya kembali. Demi aku yang tak ingin melihatmu kembali hanya ketika kau rindu.
Pergi.
Siapa aku bagimu?
Adalah aku. Yang terjajal begitu banyak nasihat baik dari teman-teman namun tetap menganggap kau yang terbaik.
Adalah aku. Yang selalu berpikir aku berhak mendapatkan kesempatan terakhir setelah kesalahan yang sama.
Adalah aku. Yang pintar dalam membodohi diri sendiri karena percaya kau akan kembali.
Tenang saja, aku tidak akan mengejarmu lagi. Aku akan duduk dengan sedih di sini. Aku lelah mengikuti kamu yang terus berlari. Aku lelah memahami kamu yang tidak pernah memberikan sesuatu yang pasti. Setiap perasaan butuh kepastian, sementara kamu betah bertahan pada keadaan.
"i dont believe time heals everything.
it helps, it does.
afther a while you won't cry about it all the time.
it won't consume every thought anymore.
you'll laugh and smile.
you'll even have a lot of great days.
SURE IT'S GET BETTER."
Kini kuberi hak penuh padamu untuk menjauh. Aku tidak akan memohon lagi. Aku tidak akan memaksakanmu kembali. Aku tidak akan menuntut apapun darimu. Cukup hatiku saja yang kamu buat pilu. Pergilah sejauh apapun kamu mampu. Diam-diam akupun akan memulihkan hatiku lagi, seiring langkahmu berlalu pergi. Pundakku sudah tidak sanggup menahan sedih. Biarlah semuanya berlalu sudah. Namun, kita telah sama-sama memilih. Aku melepasmu pergi, dan kamu tidak pernah menahan diri untuk tetap disini. Kamu senang saat semuanya akan berakhir sebatas kenang.
Namun sudahlah, aku tak pernah menyesali apapun, sebab semuanya sudah sangat patah. Semuanya terasa pedih dan begitu dalam terluka. Aku hanya ingin memulihkan hatiku. Dan, membiarkanmu semakin jauh berlalu. Sedari awal ini perasaanku sendiri, mungkin memang hanya aku yang harus menikmati. Satu hal yang harus kamu ingat. Terkadang, cinta seringkali datang terlambat. :))
Kamu memang sebaiknya terus menjauh, biar aku kembali menata hatiku agar utuh. Sudahlah, semua yang pernah aku harapkan, sudah kubiarkan membeku bersama ingatan. Melebur kedalam setiap kesepian.
Semoga kamu bahagia dengan jalan hidupmu, yang kamu pilih setelah mengabaikan perasaanku kepadamu. Semoga hari-hari baik selalu menyertai langkahmu. Aku juga akan terus berdoa untuk kebaikanku sendiri. Agar luka dihati tidak lagi sesakit ini. Berharap suatu hari nanti kita sama-sama menemukan seseorang yang tepat. Bukan dia yang begitu hebat. Namun, meneduh air mata yang jatuh begitu lebat. Ia yang peduli, bahwa cinta memang tak harus disakiti. Ia yang memilih ada, meski jenuh datang tanpa diduga. Ia yang mengerti, bahwa cinta belajar saling mengimbangi. Melangkahlah demi kebaikan hatimu. Sungguh, aku ingin hal terbaik untuk hidupmu. Biarlah semuanya menjadi cerita, meski lebih banyak luka. Tetaplah bahagia tanpa aku. Kenang saja kita sekedar masa lalu. Kita yang ingin bahagia, tetapi luka lebih cepat datangnya. Sekarang, semuanya terlanjur menjadi kenang. Mungkin sudah saatnya kamu pulang. Sebab, kita tak akan pernah lagi bisa mengulang.
Mengingatmu akan kembali menghadirkan perasaan-perasaan yang berakhir luka. Namun, aku tidak ingin semuanya berlalu begitu saja. Aku ingin menyimpanmu dalam tulisan-tulisan yang kutulis dengan kesedihan. Bukan untuk memamerkan betapa terlukanya aku dulu. Aku hanya ingin saat membaca kembali tulisan itu, kamu tahu betapa aku pernah begitu mencintaimu. Seseorang yang pernah bersungguh-sungguh memohon hatimu. Kita pernah duduk berdua disenja yang sama. Kita pernah berteduh berdua sembari menunggu hujan reda. Kita pernah menghabiskan semangkok kolak dikala itu. Kita pernah melakukan banyak hal-hal indah.
Menulis tulisan ini bukan karena aku ingin kamu menyadari betapa aku mencintai. Lalu, membuatmu merasa menyesal. Tidak begitu tujuanku. Aku hamya ingin memastikan pada diriku sendiri. Mencintaimu adalah hal yang tak mudah kulupakan, meski kenyataannya aku tetap saja berjalan. Aku memilih bertahan demi janjiku. Kamu sama sekali tidak peduli bukan? Bagaimana aku bisa hidup denganmu, sementara kamu tidak lagi menerima hidupku?
Kali ini aku ingin mengingatmu berkali-kali. Bukan untuk memintamu kembali. Bukan untuk membawamu hidup lagi dalam hidupku. Aku hanya ingin mengenang masa-masa sulit. Masa-masa dulu bagaimana bertahan sakit. Bagaimana berjuang dan bangkit. Bagaimana mencari jalan pulang setelahku patah hatikan dan buang. Aku ingin mengingat dan mengenang semuanya. Lalu, menuliskannya dalam kata-kata. Senoga, kelak kenangan bisa kujadikan buku. Agar tak sia-sia sebagai masa lalu. Mungkin akan kamu baca, atau mungkin hanya untuk kusimpan. Namun, menuliskan kenangan adalah salah satu cara untuk menenangkan.
-Begitu sulitnya aku menepikan kamu dari kenangan. Sekalipun hati telah kau remukkan berkali-kali. Selalu ada serpihan yang terus menginginkan kau kembali.-
*nb;
Senin, 14 Agustus 2017
Baca; semoga kau terluka.
Sesekali terlintas dipikiranku;
Perihal apakah kamu membaca semua tulisan yang aku publikasikan?
Perihal apakah kamu mengerti makna dari tulisan yang aku siratkan?
sebenarnya..
itu semua untukmu. Pesan yang tak bisa aku ucapkan dalam lisan, aku siratkan dalam tulisan. Entah jelas atau bias, aku berharap kamu mengerti makna dari semua pesanku yang nampak kandas.
Tak apa jika tak mengerti, setidaknya kamu tahu, ditujukan kepada siapakah semua tulisanku itu.
Tak apa jika tak mau mengerti, setidaknya kamu sadari, siapakah orang yang tak bosan menghabiskan masa, untuk menceritakan kamu sang pujaan hatinya.
Memaafkanmu membuatku mengerti bahwa ada hal-hal yang memang seharusnya dilepaskan pergi. Tidak perlu dipertahankan lagi. semua rasa sesal, kecewa, benci, selayaknya luluh bersama maaf. maka kupilih memaafkanmu dan melupakanmu. Biarlah semua hal buruk yang pernah terjadi kita lupakan saja. Luapkan semua sebagai masa lalu belaka. Kau telah kumaafkan, tak ada benci sama sekali. Segala sesuatu tentangmu sudah kuikhlaskan. Tinggal lah dengan tenang dimasa lalu. hiduplah dengan seseorang yang baru dalam hidupmu. aku tentu punya jalan lain, jalan yang lebih baik untuk ku tuju.
kadang, aku ingin menyapamu tiap kali statusmu update di media sosial. Ingin sekali mengirimimu chat singkat. Bertanya perihal kabarmu. Atau, sesekali menyampaikan selamat tidur, selamat pagi, atau mungkin menuliskan 'aku kangen kamu'. Namun, kita bukan siapa-siapa lagi. Kamu kini adalah orang asing bagiku. Sama seperti yang kamu ucapkan dulu sebelum aku begitu mengenalmu. Aku orang yang asing bagimu. Kamu takut aku memasuki hidupmu. Meski akhirnya kamu biarkan masuk hidupmu. Kamu jadikan aku seseorang yang menemani lelapmu. Lalu, kamu memilih untuk menjadi tiada. Aku tidak bisa berbuat apa-apa selain belajar menerima, bahwa ternyata begini rasanya terluka.
Dan, yang selalu aku bingungkan adalah aku yang kamu sakiti, tapi tetap saja aku ingin mengajakmu bicara kembali. Aku tidak suka kamu diam begini, menjauhiku seoalah aku adalah orang yang paling kamu benci. Apa ada yang salah denganku yang mencintaimu? Kamu tahu bahwa
aku tidak menginginkanmu lagi. Aku hanya ingin kita menjadi dua orang yang baik-baik saja. Meski aku ragu, jika kembali memiliki kebersamaan seperti dulu. Aku tidak yakin tidak memendam rindu padamu.
kenanglah kita meski tidak begitu sempurna. Meski yanya sedih-sedih yang tersisa. Sebab, bagaimanapun pahitnya, aku pernah menjadi kekasih terbaik bagimu waktu itu. Meski pada akhirnya, aku tetaplah seseorang yang menyakiti hatimu. Kenanglah, meski kita hanya menjalani waktu tidak begitu lana. Bagaimana pun aku pernah mencintaimu dengan sungguh-sungguh. Bagaimana pun aku pernah berharap kita benar-benar utuh selamanya. Tidak ada niat membuat terluka. Tidak ada niat untuk melepaskanmu begitu saja. Aku benar-benar mencintaimu waktu itu.
Namun, yang tak bisa kukendalikan adalah perasaanku. Jujur aku akui, aku lemah menjaga hubungan denganmu. Aku tak berdaya menjaga hatimu. Kubuat luka dengan segala kelalaianku. Kusakiti dan memilih membiarkanmu menangis. Maaf, jika aku keterlaluan pada hatimu. Sungguh, menyesal rasanya telah menyi-nyiakanmu. Namun, aku sadar. Aku tidak berhak memintamu lagi. Biarlah dosa-dosa ini kutanggung sendiri. Kamu tetap akan kudoakan sepenuh hati. Bahagialah disana. Dengan seseorang yang bisa mencintaimu tanpa pernah membuat luka.
Bagaimana bisa kamu menjadi orang yang benar-benar ingin kubenci? Sementara, dulu begitu dalam aku menjatuhkan hati. Hatiku menolak pergi, tetapi kenyataan terlalu menyakiti. Kamu mengabaikan segala yang pernah kita punya. Kamu lelah drngan segala yang pernah kita perjuangkan bersama. Kamu memintaku berlapang dada, memintaku melepaskan begitu saja. Apa kamu tidak pernah metenungkan walaupin sejenak saja, betapa luka pedih mengiris dada, melihat orang yang paling dicinta meminta lepas demi seseorang yang ia cinta? Kita tidak menjalani ini sehari dua hari, terlalu kebersamaan ini membuat aku tidak tahu lagi jalan kembali.
Meski tidak ingin memintamu kembali, tapi lukanya tetap saja tak sepenuhnya pergi. Menyiksa malam-malamku, menyesakkan dalam diamku. Kenangan selalu pulang dengan hal-hal yang kamu buang. Dengan hal-hal yang dulu sepenuh hati kita impikan dalam hal berjuang. Apa kamu bahagia dengan segala luka yang kini kurasa? Apa kamu tidak merasa betapa dalamnya aku tenggelam dalam hal-hal yang terlalu pahit rasanya kenyataan ini?
Semoga waktu benar-benar obat dari segala pilu. Tak banyak lagi yang kuharapkan darimu. Meski sejujurnya tak semudah itu membiarkanmu kaih dari masa lalu. Namun, aku paham, aku bukan lagi orang yang kamh knginkan. Sekuat apa pun aku menjaga doa-doa untuk bersama, tidak akan berguna bila kamu tidak juga bersedia.
Siapapapun itu penggantiku, jagalah dia baik-baik, semoga luka hatimu tidak pernah berbalik. Jagalah dia yang kamu pilih sebagai cinta, semoga kelak dia tidak menjadi seperti kamu yang memilih pergi dan membekaskan luka.
Semua sudah berlalu. Bagaimana pun kita sudah menjalani semua itu. Biarlah segalanya menjadi kenangan. Suatu hari nanti kita akan saling melupakan. Atau, mungkin hanya merasa sedih saat aemuanya sebatas kenang. Semoga penyesalan selalu menemukan hal yang baru. Selalu yang lebih baik dari masa lalu. Sebab, penyesalan yang datang belakangan selalu menyakitkan. Seringkali hanya menggoreskan luka di ingatan. Andai dulu aku tidak membiarkanmu terbuang. Namun sudahlah, mungkin kamu memang ditakdirkan hanya untuk dikenang.
-Setidaknya, aku pernah kauhancurkan berkali-kali hingga kebal disakiti. Setidaknya, hari ini masih jatuh kepadamu; karena rasa tak layak berdusta siapa yang disuka, karena rasa tak lupa menyapa siapa pemberi luka.-
Perihal apakah kamu membaca semua tulisan yang aku publikasikan?
Perihal apakah kamu mengerti makna dari tulisan yang aku siratkan?
sebenarnya..
itu semua untukmu. Pesan yang tak bisa aku ucapkan dalam lisan, aku siratkan dalam tulisan. Entah jelas atau bias, aku berharap kamu mengerti makna dari semua pesanku yang nampak kandas.
Tak apa jika tak mengerti, setidaknya kamu tahu, ditujukan kepada siapakah semua tulisanku itu.
Tak apa jika tak mau mengerti, setidaknya kamu sadari, siapakah orang yang tak bosan menghabiskan masa, untuk menceritakan kamu sang pujaan hatinya.
Memaafkanmu membuatku mengerti bahwa ada hal-hal yang memang seharusnya dilepaskan pergi. Tidak perlu dipertahankan lagi. semua rasa sesal, kecewa, benci, selayaknya luluh bersama maaf. maka kupilih memaafkanmu dan melupakanmu. Biarlah semua hal buruk yang pernah terjadi kita lupakan saja. Luapkan semua sebagai masa lalu belaka. Kau telah kumaafkan, tak ada benci sama sekali. Segala sesuatu tentangmu sudah kuikhlaskan. Tinggal lah dengan tenang dimasa lalu. hiduplah dengan seseorang yang baru dalam hidupmu. aku tentu punya jalan lain, jalan yang lebih baik untuk ku tuju.
kadang, aku ingin menyapamu tiap kali statusmu update di media sosial. Ingin sekali mengirimimu chat singkat. Bertanya perihal kabarmu. Atau, sesekali menyampaikan selamat tidur, selamat pagi, atau mungkin menuliskan 'aku kangen kamu'. Namun, kita bukan siapa-siapa lagi. Kamu kini adalah orang asing bagiku. Sama seperti yang kamu ucapkan dulu sebelum aku begitu mengenalmu. Aku orang yang asing bagimu. Kamu takut aku memasuki hidupmu. Meski akhirnya kamu biarkan masuk hidupmu. Kamu jadikan aku seseorang yang menemani lelapmu. Lalu, kamu memilih untuk menjadi tiada. Aku tidak bisa berbuat apa-apa selain belajar menerima, bahwa ternyata begini rasanya terluka.
Dan, yang selalu aku bingungkan adalah aku yang kamu sakiti, tapi tetap saja aku ingin mengajakmu bicara kembali. Aku tidak suka kamu diam begini, menjauhiku seoalah aku adalah orang yang paling kamu benci. Apa ada yang salah denganku yang mencintaimu? Kamu tahu bahwa
aku tidak menginginkanmu lagi. Aku hanya ingin kita menjadi dua orang yang baik-baik saja. Meski aku ragu, jika kembali memiliki kebersamaan seperti dulu. Aku tidak yakin tidak memendam rindu padamu.
kenanglah kita meski tidak begitu sempurna. Meski yanya sedih-sedih yang tersisa. Sebab, bagaimanapun pahitnya, aku pernah menjadi kekasih terbaik bagimu waktu itu. Meski pada akhirnya, aku tetaplah seseorang yang menyakiti hatimu. Kenanglah, meski kita hanya menjalani waktu tidak begitu lana. Bagaimana pun aku pernah mencintaimu dengan sungguh-sungguh. Bagaimana pun aku pernah berharap kita benar-benar utuh selamanya. Tidak ada niat membuat terluka. Tidak ada niat untuk melepaskanmu begitu saja. Aku benar-benar mencintaimu waktu itu.
Namun, yang tak bisa kukendalikan adalah perasaanku. Jujur aku akui, aku lemah menjaga hubungan denganmu. Aku tak berdaya menjaga hatimu. Kubuat luka dengan segala kelalaianku. Kusakiti dan memilih membiarkanmu menangis. Maaf, jika aku keterlaluan pada hatimu. Sungguh, menyesal rasanya telah menyi-nyiakanmu. Namun, aku sadar. Aku tidak berhak memintamu lagi. Biarlah dosa-dosa ini kutanggung sendiri. Kamu tetap akan kudoakan sepenuh hati. Bahagialah disana. Dengan seseorang yang bisa mencintaimu tanpa pernah membuat luka.
Bagaimana bisa kamu menjadi orang yang benar-benar ingin kubenci? Sementara, dulu begitu dalam aku menjatuhkan hati. Hatiku menolak pergi, tetapi kenyataan terlalu menyakiti. Kamu mengabaikan segala yang pernah kita punya. Kamu lelah drngan segala yang pernah kita perjuangkan bersama. Kamu memintaku berlapang dada, memintaku melepaskan begitu saja. Apa kamu tidak pernah metenungkan walaupin sejenak saja, betapa luka pedih mengiris dada, melihat orang yang paling dicinta meminta lepas demi seseorang yang ia cinta? Kita tidak menjalani ini sehari dua hari, terlalu kebersamaan ini membuat aku tidak tahu lagi jalan kembali.
Meski tidak ingin memintamu kembali, tapi lukanya tetap saja tak sepenuhnya pergi. Menyiksa malam-malamku, menyesakkan dalam diamku. Kenangan selalu pulang dengan hal-hal yang kamu buang. Dengan hal-hal yang dulu sepenuh hati kita impikan dalam hal berjuang. Apa kamu bahagia dengan segala luka yang kini kurasa? Apa kamu tidak merasa betapa dalamnya aku tenggelam dalam hal-hal yang terlalu pahit rasanya kenyataan ini?
Semoga waktu benar-benar obat dari segala pilu. Tak banyak lagi yang kuharapkan darimu. Meski sejujurnya tak semudah itu membiarkanmu kaih dari masa lalu. Namun, aku paham, aku bukan lagi orang yang kamh knginkan. Sekuat apa pun aku menjaga doa-doa untuk bersama, tidak akan berguna bila kamu tidak juga bersedia.
Siapapapun itu penggantiku, jagalah dia baik-baik, semoga luka hatimu tidak pernah berbalik. Jagalah dia yang kamu pilih sebagai cinta, semoga kelak dia tidak menjadi seperti kamu yang memilih pergi dan membekaskan luka.
Semua sudah berlalu. Bagaimana pun kita sudah menjalani semua itu. Biarlah segalanya menjadi kenangan. Suatu hari nanti kita akan saling melupakan. Atau, mungkin hanya merasa sedih saat aemuanya sebatas kenang. Semoga penyesalan selalu menemukan hal yang baru. Selalu yang lebih baik dari masa lalu. Sebab, penyesalan yang datang belakangan selalu menyakitkan. Seringkali hanya menggoreskan luka di ingatan. Andai dulu aku tidak membiarkanmu terbuang. Namun sudahlah, mungkin kamu memang ditakdirkan hanya untuk dikenang.
-Setidaknya, aku pernah kauhancurkan berkali-kali hingga kebal disakiti. Setidaknya, hari ini masih jatuh kepadamu; karena rasa tak layak berdusta siapa yang disuka, karena rasa tak lupa menyapa siapa pemberi luka.-
Selasa, 11 Juli 2017
Merayakan kepergian.
Hei, apa kabar?
Aku rasa kau baik-baik saja, sesekali aku menengok dan kau tak lagi menulis tentang kehilangan.
Bagaimana harimu?
Ingin sekali ku tanyakan, namun aku berusaha sedingin yang aku bisa di setiap chatan. Bukan karena sombong, juga bukan mengartikan pengganti barumu sudah membahagiakan aku, bukan. Namun agar membunuh apa yang kembali hendak tumbuh di setiap kau menyapa walau sesaat. Banyak orang baik yang datang setelah kau pergi, sama seperti kisahmu, banyak sosok yang ingin menggantikan tempatku dihatimu. Aku menulis bukan untuk kau baca, bukan untuk membuatmu merasa tersindir, namun kembali tapi, aku menulis untuk melakukan apa yang biasa aku lakukan ketika kau menyapa; membunuh rasa yang perkahan kembali ada. Dengan menulis ini, aku kembali tersadar, kau telah pergi dan aku kembali tersakiti.
Lihatlah dirinya, tanpamu dia baik-baik saja. Tanpamu dia bahagia. Kau sendiri tahu betapa sering dirinya pergi dan tertawa dengan orang-orang baru setelah tak lagi denganmu.
Apakah kau sadar?
Bahwa kehilanganmu, ia tak apa. Bahwa ditinggalkanmu ia tak kesepian.
Tak ada barang darimu di kamarnya. Tak ada satu pun foto tentangmu diponselnya. Yang ada hanya senyum tabpa beban yang ia tunjukkan setiap mereka bertanya perihal kau sekarang ada dimana. Kau sama sekali tak membekas di hatinya. Baginya kau hanya pembunuh waktu.
Mau betapa kali kau tetap membaca cerita tentang sakit hati? Membaca tulisan tentang hati yang ditinggal pergi? Membaca kalimat tentang hati yang di lukai?
Mau berapa kali kau menulis tentangnya?
Ayolah, menyerah sudah.
Kepada, seseorang yang fotonya pernah ada di setiap tempat spesial yang aku siapkan.
Well...
Mungkin ini adalah sajak yang beberapa kali aku tulis, namun tak pernah kau rasa. Tak apa, ia memang tercipta seperti itu, atau lebih tepatnya seperti kisah kita kemarin, mungkin? Hahahaha, maaf, maaf, aku tak bermaksud membuatmu tersinggung lagi.
Oke.. baiklah..sajak ini aku tulis bukan tanpa alasan juga, melainkan ada beberapa hal yang menggerakkan jemariku untuk kembali menuliskan namamu lagi disini. Ah tidak, aku tidak mingkin menuliskan namamu disini. Kau... Kau... Namamu terlalu indah, sekaligus terlalu menyakitkan untuk ditulis di sini.
Malan ini aku akan menceritakan apa maksud dari setiap kata "aku gapapa" yang kau dapatkan, ketika kau bertanya kepadaku setiap aku terdiam. Aku bukan bermaksud menjadi seseorang yang egois dan kekanak-kanakan karena memilih untuk tidak berbicara tentang perasaan yang aku rasa, hanya saja aku tahu jika aku bicara, itu mungkin akan mengganggu kebahagiaanmu sekarang ini. Tak enak rasanya aku merusak kebahagiaanmu yang telah dibangun susah payah oleh dirimu seorang, yang kau rela jatuh demi rasa yang telah berlabuh, yang kau pernah menangis hingga hidupmu kau bilang egois.
Ah, aku jadi kembali membicarakan masa lalu. Maaf...maaf...
Namun aku akan jujur. Dari sekian banyak masa lalu yang telah aku lalui, entah mengapa kau yang paling melekat. Rasa-rasanya setiap aku menemui orang baru dan menunjukkannya kepada temanku, mereka akan berkata bahwa orang baru itu mirip dirimu. Tapi tenang saja, aku pun pada awalnya tak percaya. Mungkin ini hanya khayalku saja. Namun, semakin aku mencoba untuk mengelak dari rasa yang aku buat sendiri ini, tanpa sadar aku mencari kau.
Iya, kau.
Aku pandai menasehati orang lain. Mencaci-maki setiap mereka yang bodoh karena bertahan ditinggal pergi. Namun, sekarang aku adalah mereka. Aku mencaci-maki diriku sendiri. Ah! Rasa-rasanya aku semakin membenci diriku sendiri jika menceritakan semua hal ini lagi. Karena, selain aku yang selalu tanpa sadar mencarimu disetiap orang yang aku temu, kau juga tahu bahwa kabarku pernah jauh lebih baik; dan itu adalah ketika aku masih bersamamu.
Aku pun sama sepertimu, tak ingin kita jauh, tak ingin kita seperti orang asing lagi. Tapi jujur saja, aku benci menjadi orang pintar yang sudah terlanjur memenuhi otakku dengan banyaknya pengetahuan bahwa sekarang kau tak lagi mencintaiku--dan yang lebih brengseknya lagi, disini aku masih.
Aku rindu menjadi orang bodoh. Yang mendengarmu menangis setelah dilukai orang lain, yang berani mencintaimu secara luar biasa ketika pergi berkencan untuk kedua atau kesekian kalinya, yang berpura-pura tak apa ketika telingaku dijejali tawamu menceritakan orang lain.
Aku rindu menjadi bodoh! Aku rindu kam..ah maaf salah, aku rindu menjadi bodoh!
"TERIMA KASIH TELAH DATANG, KEMUDIAN PERGI. TERIMA KASIH TELAH MENGAJARKAN BANYAK HAL BAHWA YANG BAIK TAK AKAN SELAMANYA BERAKHIR BAIK. TAHUN INI AKU KEMBALI BERTEMU DENGAN PERTEMUAN DAN PERPISAHAN. NAMUN DI ANTARA SEMUANYA, KEPERGIANMU YANG PALING AKU INGAT. MENYADARKANKU BAHWA SEBENARNYA AKU KUAT."
Tak perlu lagi aku jelaskan.
Dipaksa melepasmu, dulu aku pernah sangat menderita. Meskipun aku menolak untuk mencoba, tapi sikapmu seakan mengatakan bahwa kita tak bahagia bila bersama.
Hanya karena saat itu aku mencintaimu, bukan berarti kau berhak untuk memanfaatkanku.
Walau aku tahu kau tak bermaksud seperti itu, tapi kau telah melakukannya, tanpa kau sadari, dan langsung dari hati. Bahagualah. Melihatmu bahagia tanpa diriku, aku cukup. Tak usah datang menanyakan apa aku bahagia sekarang; kau sudah tahu jawabannya.
Tentu saja aku juga bersalah karena memustukan untuk jatuh terlalu cepat pada cintamu. Namun aku tak bisa menghindar untuk tidak seperti itu. Kau adalah nyaman yang aku cari ketika lelah kaki mencari bahagia. Ketika saat itu kau berkata bahwa ini adalah pilihan yang tepat agar kedua-belah pihak merasa menang.
Aku rasa demikian.
Aku tidak cukup penting untuk kau khawatirkan.
Jangan merasa bahwa dirimu adalah pihak yang paling tersakiti jika kau tidak pernah berdiri pada posisiku ini.
Kelak ketika kau telah bahagia dan kembali menemuiku, ingatkan aku untuk belajar agar bisa menjadi seperti dirimu. Yang terlihat tanpa beban dan dengan mudahnya pergi meninggalkanku dulu.
"MAKA BERBAHAGIALAH KAU DENGAN SUKA CITA. SEHINGGA MENYAKITIKU KEMARIN, BUKANLAH SUATU TINDAKAN YANG SIA-SIA."
Kepada kamu,
Aku tak menyangka berbicara berdua atau chat bersama bisa menjadi sesulit ini sekarang. Kita seperti kita yang dulu sebelum saling mengenal. Tapi, bersamaan dengan tulisan ini bolehlan aku menyampaikan sesuatu kepadamu? Kau mau membacanya atau tidak itu terserah dirimu. Sengaja atau tidak sengaja. Sepintas atau berulang-ulang.
Aku tidak akan berkata panjang-panjang, aku harus pergi dari sekarang, dan aku tidak tahu kapan akan kembali, mungkin tidak sama sekali; aku masih belum tahu. Aku hanya ingin kau yahu sebelum aku pergi, nahwa sempat dekat denganmu adalah hal paling indah yang pernah terjadi dalam hidupku. Percayalah.
Nanti ketika aku telah benar-benar pergi, siapa yang akan menyelamatkanmu dari kejamnya orang-orang disekitarmu? Siapa yang akan mengawasi tingkah laku cerobohmu itu? Siapa yang akan mengingatkanmu untuk tidak lupa makan karena sakit maag-mu itu?
Nanti ketika aku telah benar-benar pergi, siapa yang akan mencegahmu untuk terjatuh? Siapa yang akan kau salahkan ketika dunia menyalahkanmu?
Nanti ketika aku telah benar-benar pergi, siapa yang akan mencintaimu sedangkan kau tak bisa mencintai dirimu sendiri?
Dan ketika aku telah memutuskan untuk benar-benar pergi, siapa yang akan menyembuhkan lukamu? Siapa yang akan setia mendengarkan keluh kesahmu? Siapa yang akan menguatkanmu ketika kau tak mampu berdiri?
Siapa?! :")
Walaupun kau tahu aku tak pernah bisa benar-benar pergi dan membiarkanmu tersakiti sendiri. Aku takut ketika suatu saat kau mulai mencari--ternyata saat itu aku telah lama pergi.
Aku sudah bahagia sekarang. Tak perlu kau cemaskan aku lagi.
Aku sudah ditemukan oleh seseorang. Yang seperti kau bilang dulu sebelum pergi meninggalkanku; yang akan benar-benar menyayangiku. Yang akan benar-benar mencintaiku.
Kini aku telah ditemukannya, seseorang yang mencintai aku sebesar cintaku kepadamu dulu; atau bahkan lebih.
Aku sudah bahagia sekarang.
Tak perlu lagi aku khawatirkan kabarku.
Salahmu telah kumaafkan, luka olehmu telah tersembuhkan. Tak perlu lagi merasa bersalah karena meninggalkan aku, tak perlu lagi aku kasihani keadaanku. Hujan dikelopak mataku tak memanggil namamu. Didalam doaku namamu telah digantikan oleh nama yang baru.
Aku sudah bahagia sekarang.
Terima kasih telah memutuskan untuk pergi. Caramu menyakitiku kemarin, adalah cara tuhan mempertemukan aku dengannya; Hari ini.
-Sejujurnya, dulu aku adalah orang yang ping patah saat kamu menginginkan kita pisah.-
Aku rasa kau baik-baik saja, sesekali aku menengok dan kau tak lagi menulis tentang kehilangan.
Bagaimana harimu?
Ingin sekali ku tanyakan, namun aku berusaha sedingin yang aku bisa di setiap chatan. Bukan karena sombong, juga bukan mengartikan pengganti barumu sudah membahagiakan aku, bukan. Namun agar membunuh apa yang kembali hendak tumbuh di setiap kau menyapa walau sesaat. Banyak orang baik yang datang setelah kau pergi, sama seperti kisahmu, banyak sosok yang ingin menggantikan tempatku dihatimu. Aku menulis bukan untuk kau baca, bukan untuk membuatmu merasa tersindir, namun kembali tapi, aku menulis untuk melakukan apa yang biasa aku lakukan ketika kau menyapa; membunuh rasa yang perkahan kembali ada. Dengan menulis ini, aku kembali tersadar, kau telah pergi dan aku kembali tersakiti.
Lihatlah dirinya, tanpamu dia baik-baik saja. Tanpamu dia bahagia. Kau sendiri tahu betapa sering dirinya pergi dan tertawa dengan orang-orang baru setelah tak lagi denganmu.
Apakah kau sadar?
Bahwa kehilanganmu, ia tak apa. Bahwa ditinggalkanmu ia tak kesepian.
Tak ada barang darimu di kamarnya. Tak ada satu pun foto tentangmu diponselnya. Yang ada hanya senyum tabpa beban yang ia tunjukkan setiap mereka bertanya perihal kau sekarang ada dimana. Kau sama sekali tak membekas di hatinya. Baginya kau hanya pembunuh waktu.
Mau betapa kali kau tetap membaca cerita tentang sakit hati? Membaca tulisan tentang hati yang ditinggal pergi? Membaca kalimat tentang hati yang di lukai?
Mau berapa kali kau menulis tentangnya?
Ayolah, menyerah sudah.
Kepada, seseorang yang fotonya pernah ada di setiap tempat spesial yang aku siapkan.
Well...
Mungkin ini adalah sajak yang beberapa kali aku tulis, namun tak pernah kau rasa. Tak apa, ia memang tercipta seperti itu, atau lebih tepatnya seperti kisah kita kemarin, mungkin? Hahahaha, maaf, maaf, aku tak bermaksud membuatmu tersinggung lagi.
Oke.. baiklah..sajak ini aku tulis bukan tanpa alasan juga, melainkan ada beberapa hal yang menggerakkan jemariku untuk kembali menuliskan namamu lagi disini. Ah tidak, aku tidak mingkin menuliskan namamu disini. Kau... Kau... Namamu terlalu indah, sekaligus terlalu menyakitkan untuk ditulis di sini.
Malan ini aku akan menceritakan apa maksud dari setiap kata "aku gapapa" yang kau dapatkan, ketika kau bertanya kepadaku setiap aku terdiam. Aku bukan bermaksud menjadi seseorang yang egois dan kekanak-kanakan karena memilih untuk tidak berbicara tentang perasaan yang aku rasa, hanya saja aku tahu jika aku bicara, itu mungkin akan mengganggu kebahagiaanmu sekarang ini. Tak enak rasanya aku merusak kebahagiaanmu yang telah dibangun susah payah oleh dirimu seorang, yang kau rela jatuh demi rasa yang telah berlabuh, yang kau pernah menangis hingga hidupmu kau bilang egois.
Ah, aku jadi kembali membicarakan masa lalu. Maaf...maaf...
Namun aku akan jujur. Dari sekian banyak masa lalu yang telah aku lalui, entah mengapa kau yang paling melekat. Rasa-rasanya setiap aku menemui orang baru dan menunjukkannya kepada temanku, mereka akan berkata bahwa orang baru itu mirip dirimu. Tapi tenang saja, aku pun pada awalnya tak percaya. Mungkin ini hanya khayalku saja. Namun, semakin aku mencoba untuk mengelak dari rasa yang aku buat sendiri ini, tanpa sadar aku mencari kau.
Iya, kau.
Aku pandai menasehati orang lain. Mencaci-maki setiap mereka yang bodoh karena bertahan ditinggal pergi. Namun, sekarang aku adalah mereka. Aku mencaci-maki diriku sendiri. Ah! Rasa-rasanya aku semakin membenci diriku sendiri jika menceritakan semua hal ini lagi. Karena, selain aku yang selalu tanpa sadar mencarimu disetiap orang yang aku temu, kau juga tahu bahwa kabarku pernah jauh lebih baik; dan itu adalah ketika aku masih bersamamu.
Aku pun sama sepertimu, tak ingin kita jauh, tak ingin kita seperti orang asing lagi. Tapi jujur saja, aku benci menjadi orang pintar yang sudah terlanjur memenuhi otakku dengan banyaknya pengetahuan bahwa sekarang kau tak lagi mencintaiku--dan yang lebih brengseknya lagi, disini aku masih.
Aku rindu menjadi orang bodoh. Yang mendengarmu menangis setelah dilukai orang lain, yang berani mencintaimu secara luar biasa ketika pergi berkencan untuk kedua atau kesekian kalinya, yang berpura-pura tak apa ketika telingaku dijejali tawamu menceritakan orang lain.
Aku rindu menjadi bodoh! Aku rindu kam..ah maaf salah, aku rindu menjadi bodoh!
"TERIMA KASIH TELAH DATANG, KEMUDIAN PERGI. TERIMA KASIH TELAH MENGAJARKAN BANYAK HAL BAHWA YANG BAIK TAK AKAN SELAMANYA BERAKHIR BAIK. TAHUN INI AKU KEMBALI BERTEMU DENGAN PERTEMUAN DAN PERPISAHAN. NAMUN DI ANTARA SEMUANYA, KEPERGIANMU YANG PALING AKU INGAT. MENYADARKANKU BAHWA SEBENARNYA AKU KUAT."
Tak perlu lagi aku jelaskan.
Dipaksa melepasmu, dulu aku pernah sangat menderita. Meskipun aku menolak untuk mencoba, tapi sikapmu seakan mengatakan bahwa kita tak bahagia bila bersama.
Hanya karena saat itu aku mencintaimu, bukan berarti kau berhak untuk memanfaatkanku.
Walau aku tahu kau tak bermaksud seperti itu, tapi kau telah melakukannya, tanpa kau sadari, dan langsung dari hati. Bahagualah. Melihatmu bahagia tanpa diriku, aku cukup. Tak usah datang menanyakan apa aku bahagia sekarang; kau sudah tahu jawabannya.
Tentu saja aku juga bersalah karena memustukan untuk jatuh terlalu cepat pada cintamu. Namun aku tak bisa menghindar untuk tidak seperti itu. Kau adalah nyaman yang aku cari ketika lelah kaki mencari bahagia. Ketika saat itu kau berkata bahwa ini adalah pilihan yang tepat agar kedua-belah pihak merasa menang.
Aku rasa demikian.
Aku tidak cukup penting untuk kau khawatirkan.
Jangan merasa bahwa dirimu adalah pihak yang paling tersakiti jika kau tidak pernah berdiri pada posisiku ini.
Kelak ketika kau telah bahagia dan kembali menemuiku, ingatkan aku untuk belajar agar bisa menjadi seperti dirimu. Yang terlihat tanpa beban dan dengan mudahnya pergi meninggalkanku dulu.
"MAKA BERBAHAGIALAH KAU DENGAN SUKA CITA. SEHINGGA MENYAKITIKU KEMARIN, BUKANLAH SUATU TINDAKAN YANG SIA-SIA."
Kepada kamu,
Aku tak menyangka berbicara berdua atau chat bersama bisa menjadi sesulit ini sekarang. Kita seperti kita yang dulu sebelum saling mengenal. Tapi, bersamaan dengan tulisan ini bolehlan aku menyampaikan sesuatu kepadamu? Kau mau membacanya atau tidak itu terserah dirimu. Sengaja atau tidak sengaja. Sepintas atau berulang-ulang.
Aku tidak akan berkata panjang-panjang, aku harus pergi dari sekarang, dan aku tidak tahu kapan akan kembali, mungkin tidak sama sekali; aku masih belum tahu. Aku hanya ingin kau yahu sebelum aku pergi, nahwa sempat dekat denganmu adalah hal paling indah yang pernah terjadi dalam hidupku. Percayalah.
Nanti ketika aku telah benar-benar pergi, siapa yang akan menyelamatkanmu dari kejamnya orang-orang disekitarmu? Siapa yang akan mengawasi tingkah laku cerobohmu itu? Siapa yang akan mengingatkanmu untuk tidak lupa makan karena sakit maag-mu itu?
Nanti ketika aku telah benar-benar pergi, siapa yang akan mencegahmu untuk terjatuh? Siapa yang akan kau salahkan ketika dunia menyalahkanmu?
Nanti ketika aku telah benar-benar pergi, siapa yang akan mencintaimu sedangkan kau tak bisa mencintai dirimu sendiri?
Dan ketika aku telah memutuskan untuk benar-benar pergi, siapa yang akan menyembuhkan lukamu? Siapa yang akan setia mendengarkan keluh kesahmu? Siapa yang akan menguatkanmu ketika kau tak mampu berdiri?
Siapa?! :")
Walaupun kau tahu aku tak pernah bisa benar-benar pergi dan membiarkanmu tersakiti sendiri. Aku takut ketika suatu saat kau mulai mencari--ternyata saat itu aku telah lama pergi.
Aku sudah bahagia sekarang. Tak perlu kau cemaskan aku lagi.
Aku sudah ditemukan oleh seseorang. Yang seperti kau bilang dulu sebelum pergi meninggalkanku; yang akan benar-benar menyayangiku. Yang akan benar-benar mencintaiku.
Kini aku telah ditemukannya, seseorang yang mencintai aku sebesar cintaku kepadamu dulu; atau bahkan lebih.
Aku sudah bahagia sekarang.
Tak perlu lagi aku khawatirkan kabarku.
Salahmu telah kumaafkan, luka olehmu telah tersembuhkan. Tak perlu lagi merasa bersalah karena meninggalkan aku, tak perlu lagi aku kasihani keadaanku. Hujan dikelopak mataku tak memanggil namamu. Didalam doaku namamu telah digantikan oleh nama yang baru.
Aku sudah bahagia sekarang.
Terima kasih telah memutuskan untuk pergi. Caramu menyakitiku kemarin, adalah cara tuhan mempertemukan aku dengannya; Hari ini.
-Sejujurnya, dulu aku adalah orang yang ping patah saat kamu menginginkan kita pisah.-
Selasa, 06 Juni 2017
Kau tetap mimpi terbesarku, jadi tunggulah.
Maafkan aku yang sekali lagi merindumu.
Mengusik tenangmu.
Menganggu setiap inci dari kebahagiaanmu.
Aku tahu rasa ini mungkin tidak akan kekal.
Seperti halnya kamu. Yang memilih pergi.
Beri aku waktu sedikit lagi.
Untuk membiasakan diri.
Bahwa kini aku tanpamu.
Aku masih duduk di bangku cemas tepat pada meja curiga. Menyudut cemburu, menanyakan kabarmu pada kesibukanmu, berharap ada sedikit aku di sela hidupmu.
Berapa harga sebuah tanggal merah? Aku ingin membeli semua kesibukanmu.
Kau pembohong.
Kau tak pernah sibuk. Hatimu yang tak pernah terketuk.
Kau pendusta.
Kau tak pernah tak punya waktu. Hatimu yang mungkin telah terisi sosok baru.
Aku masih ingat satu waktu ketika kau menyambutku dengan segelas air di ruang tamu. Kau dan aku bertukar janji akan seperti apa kita nanti di masa tua. Aku menyanjungmu begitu dalam, kau memujiku seperti tak ada pria lain yang pernah di lahirkan. Didekatmu cita-citaku hanyalah menjadi telinga; mendengarkan suaramu adalah alasanku tetap ada di dunia. Di kejauhanmu, tujuan hidupku hanyalah pulang. Melihat kau menua adalah alasanku menjaga degub jantungmu tetap tenang. Bibirmu terus berirama mengeja kata demi kata. Kau menjadi begitu angkuh menceritakan kejadian. Semua hal yang kau banggakan, semua bahagia yang ingin kau sampaikan. Bukan karyaku yang kau beri tanda seru bukan pula setiaku yang meriuh haru. Kita terpisah jarak, dan disitulah muara cerita bergejolak.
Perih.
Nadiku berdenyut lirih.
Kita berada di bawah angkasa yang sama, tetapi kenyataannya atmosfer kita jauh berbeda. Kaulah poros kenapa rinduku bisa terisi, tetapi bukan aku yang kau jadikan alasan berotasi. Aku termakan delusi. Aku terlalu berharap kita bisa mengulangnya lagi.
Mimpi-mimpi kita sudah tak ada bedanya dengan dongeng menjelang tidur. Aku tak mau berdebat lagi tentang hal-hal yang bisa membuat dadaku semakin sesak dan harapku semakin terbentur. Telah berulang kali aku mengakui, aku mencintaimu tanpa alasan! Lalu bagian mana lagi yang terus menerus kau pertanyakan?! :")
Aku masih ingin mengungkap indahmu lewat sajakku. Terlalu lama aku memikirkan kata, sekejam itu kau balas dengan berdiam tanpa kata.
Aku salah.
Aku bukanlah telinga. Aku hanya terpesona.
Aku bodoh.
Bahagia kita pernah merekah indah tanpa sedikit pun gelisah, saat lantunan rindu alasan setiap pertemuan, saat mencintaimu bukan hanya sekedar lamunan. Semurung mendung sederas hujan, mimpiku menuai hebat pada ketiadaan. Aku tengah mengaduk sedak sembari mengiris senja di pelataran logika. Mencari jejak terakhirmu di serpihan tawa, memungut sisa senyumanmu yang dulu biasa kini tiada.
Aku bertemu anak kecil yang mirip sekali denganmu.
Yang selalu menagihku coklat saat bertemu.
Tapi disaku ku hanya ada kembang gula.
Dia tidak suka lalu pergi begitu saja.
Apakah apa apa tentangmu selalu meninggalkanku? :")
Kupahami kecewamu, itu bukti, jika memang ternyata tidak mudah memahami isi kepalaku. Marah lah sepuasmu. Untuk diam dan amarahmu aku selalu memiliki waktu untukmu. Menyatukan dua kepala, dua keinginan, dua pikirian, dua kemauan, butuh banyak waktu untuk benar-benar satu tujuan. Amarahku, tidak sampai aku ingin memukulmu, dan amarahmu tidak pernah sampai membuatmu tidak ingin lagi memelukku. Tenang saja, aku akan mencintaimu dengan keras kepala. Memahamimu itu harus kumenangkan, sesulit apapun keadaanku mencintaimu. Aku harus percaya diri, bahwa tidak ada yang lebih dari aku dalam memahamimu:").
Aku pernah belajar merelakanmu berkali-kali. Melepasmu pergi dengan cinta yang lain. Membiarkan kesempatan memilikimu hilang untukku. Sebab kamu berhak bahagia; meski sesungguhnya aku tidak bahagia dengan keputusan itu. Ketidak beranianku meng-ikatmu, memberikan ruang asing untuk orang lain mendekatimu. Kupikir hidup akan baik-baik saja. Semua harus berjalan seperti sedia kala, kamu dengan seseorang yang memilihmu. Aku dengan hati baru yang mencoba tumbuh di hidupku. Kuberikan hatiku pada seseorang yang lain, kubiarkan dia menggantikanmu. Namun, aku keliru. Melupakanmu ternyata tidak semudah itu.
Kamu pernah ada berjuta-juta gigabyte di memori dalam otakku, kamu pernah riuh kusebutkan dalam doa. Pernah juga kurapalkan namamu dalam tiap desah dan cuaca. Aku pamit untuk tidak lagi melakukan rutinitas ini. Aku pernah mencungkil perhatianmu dengan berusaha membuatmu tertarik. Untuk memberi isyarat, "Hei, lihatlah kesini. Ada aku yang memperhatikanmu. Mengagumimu sekian lama, puluhan hari." Kali ini aku pamit untuk tidak lagi melakukan rutinitas ini.
Kita sama-sama berlari, aku berlari mengejarmu sedangkan kamu berlari ke arah yang lain. Tidak akan pernah bertemu pada titik yang sama. Maka kuputuskan untuk berhenti atau putar haluan pamit undur diri.
Bukan. Kamu salah kalau menebak aku tidak mencintaimu lagi. Masih dan akan selalu. Namun pada akhirnya aku harus mengalah pada logika. Pada serpihan nyata yang menyadarkan bahwa menyudahi perjuangan adalah sesuatu yang benar. Kamu bukan diciptakan untuk diperjuangkan olehku. Atau mungkin aku diciptakan bukan untuk memperjuangkanmu. Ah, barang kali itu yang benar:"). Maka pergilah kamu dengan santai, kini tak ada lagi aku yang mengejar. Kepada yang telah berlalu puluhan hari silam, mungkin memang lebih baik seperti ini. Kamu yang pergi dan aku yang enggan berjanji menunggumu kembali. Sebab sekarang, menyimpanmu dalam kenangan jauh lebih menyenangkan daripada memaksamu kembali hanya sekedar belas kasihan.
Apa kamu tak merindukanku? Sebagai satu yang meninggikanmu meng-iyakan pinta, mengabulkan doa yang kiranya aku mampu untuk menanggungnya. Mengalah pada logika yang sungguh dibatas logika. Memujamu sejatuh-jatuhnya, menjadikanmu ratu pada apa yang kusebut dunia. Sekarang mungkin kamu merindukanku tentu saja, sudah semestinya. Aku adalah setiap jawaban dari pertanyaanmu, aku adalah batas standar keinginanmu dan kupastikan tak akan ada seseorangpun yang mampu melampauiku. Iya, kamu menggantungkan hidupmu kepadaku, tanpa sedikitpun kamu sadari itu. Kamu terlalu terlena pada dunia yang sedikitpun tidak ada aku didalamnya. Kelak, urus saja rindu yang kau bilang mulai menyakiti; bukankah dulu ketika kamu mengabaikan ku pada setiap kesibukanmu akan menghancurkan dirimu sendiri?
Perlahan.
Pasti.
Dan aku mungkin tak akan perduli lagi.
Ini hanya sajakku yang telah lama menumpuk untuk dibaca olehmu.
Apa yang tersisa setelah kepergianmu?
Ponsel yang sunyi tanpa pesan masuk, layar ponsel yang selalu mati, tak ada panggilan darimu dan waktu demi waktu yang senang mengolok-olokku dengan kenangan bermunculan.
Apa yang tersisa setelah kepergianmu?
Lebih dari rasa sakit, hatiku hancur kehilangan percaya. Tak bisa membalas senyum, dan menutup pintu hati. Sekedar membukanya pun tak berani, apalagi membiarkan kesempatan untuk orang masuk.
Aku sudah berkemas
Hingga tidak ada yang bersisa
Tapi ruangannya tak lagi nyaman
Sebab rasaku telah di runtuhkan
Apa yang tersisa setelah kepergianmu?
Menumbuhkan cinta yang baru tidak akan semudah seperti awal aku mencintaimu.
Perihal cinta, ada kalanya tidak harus selalu bersama daripada ada hati yang semakin terluka karena berusaha untuk bertahan padahal sudah waktunya untuk meninggalkan. Bukan karena ingin, tapi di luar logika inilah cara terbaik untuk menghentikan luka. Kau tidak akan pernah mengerti cara cinta bekerja. Suatu hari nanti kamu akan melihatku sebagai orang asing. Seseorang yang dulu pernah kau beri ruang dalam hatimu. Seserang yang tak lagi mampu memberikan harapan kepadamu. Hidup telah mengalihkan semuanya. Namun yang tersisa, tak benar-benar punah adanya. Aku masih kau simpan di relung dadamu, dalam diam dan sepi dan ramai dalam harimu. Kau tidak pernah benar-benar melepaskanku. Katamu, ada perasaan yang tidak bisa dibunuh. Kita pernah saling berpisah raga sebab semesta. Tapi jiwaku dan jiwamu menyatu dalam sujud doa-doa. Kau mencintaiku dengan cinta yang paling tinggi. Kau masih merasa semuanya adalah milikmu yang tak bisa kau miliki. Biarlah semua berjalan sendiri-sendiri. Tapi semua yang ada dalam diriku, tak pernah pergi dalam dirimu. Melekat membatu. Sesekali datang sebagai rindu.
Aku? Sedang tidak baik-baik saja. Hatiku masih patah, rasa ku masih gelisah. Bahkan dalam diriku ada rasa resah yang tengah menggundah. Jadi tolong jangan pernah menanyakan apa kabar padaku. Sebab aku tak akan baik-baik saja. Tanpa dia.
Segenggam malam yang kelam tak pernah ingin ku antar untuk matamu yang siang. Biar aku saja yang terendam kesedihan dalam gelap bintang. Biar aku saja yang terluka, dan kau bahagia..
Bahkan aku ingin mengantar untukmu senja, sebagai lautan doa untukmu agar tetap bisa tertawa. Aku ingin kau berhenti untuk mengingatku sebagai setumpuk luka. Aku ingin kau berhenti mengingat namaku sebagai yang pernah ada:").
Biar saja aku disini hilang di antara entah. Gelap tanpa arah. Menangis gelisah, menanggung duka dalam kisah. Karena aku ingin kau bahagia dengan entah apapun caranya. Tak apa, jika kau harus menghapusku dalam ingatan. Tak apa pula, jika kau mencari seseorang yang lebih pantas mendampingi waktumu sesisa kehidupan. Aku akan mendoakanmu tanpa putus, sebab demi kau; kebahagiaan yang harus.
Tak apa, kasih..
Jika keberdamaan kita harus mati di tangan perpisahan. Sebab memilikimu kemarin, sudah cukup membuatku memahami indahnya pertemuan(bahkan perpisahan itu sendiri.)
-Kita, adalah dua hati yang sudah enggan bertegur harap dalam janji.-
Mengusik tenangmu.
Menganggu setiap inci dari kebahagiaanmu.
Aku tahu rasa ini mungkin tidak akan kekal.
Seperti halnya kamu. Yang memilih pergi.
Beri aku waktu sedikit lagi.
Untuk membiasakan diri.
Bahwa kini aku tanpamu.
Aku masih duduk di bangku cemas tepat pada meja curiga. Menyudut cemburu, menanyakan kabarmu pada kesibukanmu, berharap ada sedikit aku di sela hidupmu.
Berapa harga sebuah tanggal merah? Aku ingin membeli semua kesibukanmu.
Kau pembohong.
Kau tak pernah sibuk. Hatimu yang tak pernah terketuk.
Kau pendusta.
Kau tak pernah tak punya waktu. Hatimu yang mungkin telah terisi sosok baru.
Aku masih ingat satu waktu ketika kau menyambutku dengan segelas air di ruang tamu. Kau dan aku bertukar janji akan seperti apa kita nanti di masa tua. Aku menyanjungmu begitu dalam, kau memujiku seperti tak ada pria lain yang pernah di lahirkan. Didekatmu cita-citaku hanyalah menjadi telinga; mendengarkan suaramu adalah alasanku tetap ada di dunia. Di kejauhanmu, tujuan hidupku hanyalah pulang. Melihat kau menua adalah alasanku menjaga degub jantungmu tetap tenang. Bibirmu terus berirama mengeja kata demi kata. Kau menjadi begitu angkuh menceritakan kejadian. Semua hal yang kau banggakan, semua bahagia yang ingin kau sampaikan. Bukan karyaku yang kau beri tanda seru bukan pula setiaku yang meriuh haru. Kita terpisah jarak, dan disitulah muara cerita bergejolak.
Perih.
Nadiku berdenyut lirih.
Kita berada di bawah angkasa yang sama, tetapi kenyataannya atmosfer kita jauh berbeda. Kaulah poros kenapa rinduku bisa terisi, tetapi bukan aku yang kau jadikan alasan berotasi. Aku termakan delusi. Aku terlalu berharap kita bisa mengulangnya lagi.
Mimpi-mimpi kita sudah tak ada bedanya dengan dongeng menjelang tidur. Aku tak mau berdebat lagi tentang hal-hal yang bisa membuat dadaku semakin sesak dan harapku semakin terbentur. Telah berulang kali aku mengakui, aku mencintaimu tanpa alasan! Lalu bagian mana lagi yang terus menerus kau pertanyakan?! :")
Aku masih ingin mengungkap indahmu lewat sajakku. Terlalu lama aku memikirkan kata, sekejam itu kau balas dengan berdiam tanpa kata.
Aku salah.
Aku bukanlah telinga. Aku hanya terpesona.
Aku bodoh.
Bahagia kita pernah merekah indah tanpa sedikit pun gelisah, saat lantunan rindu alasan setiap pertemuan, saat mencintaimu bukan hanya sekedar lamunan. Semurung mendung sederas hujan, mimpiku menuai hebat pada ketiadaan. Aku tengah mengaduk sedak sembari mengiris senja di pelataran logika. Mencari jejak terakhirmu di serpihan tawa, memungut sisa senyumanmu yang dulu biasa kini tiada.
Aku bertemu anak kecil yang mirip sekali denganmu.
Yang selalu menagihku coklat saat bertemu.
Tapi disaku ku hanya ada kembang gula.
Dia tidak suka lalu pergi begitu saja.
Apakah apa apa tentangmu selalu meninggalkanku? :")
Kupahami kecewamu, itu bukti, jika memang ternyata tidak mudah memahami isi kepalaku. Marah lah sepuasmu. Untuk diam dan amarahmu aku selalu memiliki waktu untukmu. Menyatukan dua kepala, dua keinginan, dua pikirian, dua kemauan, butuh banyak waktu untuk benar-benar satu tujuan. Amarahku, tidak sampai aku ingin memukulmu, dan amarahmu tidak pernah sampai membuatmu tidak ingin lagi memelukku. Tenang saja, aku akan mencintaimu dengan keras kepala. Memahamimu itu harus kumenangkan, sesulit apapun keadaanku mencintaimu. Aku harus percaya diri, bahwa tidak ada yang lebih dari aku dalam memahamimu:").
Aku pernah belajar merelakanmu berkali-kali. Melepasmu pergi dengan cinta yang lain. Membiarkan kesempatan memilikimu hilang untukku. Sebab kamu berhak bahagia; meski sesungguhnya aku tidak bahagia dengan keputusan itu. Ketidak beranianku meng-ikatmu, memberikan ruang asing untuk orang lain mendekatimu. Kupikir hidup akan baik-baik saja. Semua harus berjalan seperti sedia kala, kamu dengan seseorang yang memilihmu. Aku dengan hati baru yang mencoba tumbuh di hidupku. Kuberikan hatiku pada seseorang yang lain, kubiarkan dia menggantikanmu. Namun, aku keliru. Melupakanmu ternyata tidak semudah itu.
Kamu pernah ada berjuta-juta gigabyte di memori dalam otakku, kamu pernah riuh kusebutkan dalam doa. Pernah juga kurapalkan namamu dalam tiap desah dan cuaca. Aku pamit untuk tidak lagi melakukan rutinitas ini. Aku pernah mencungkil perhatianmu dengan berusaha membuatmu tertarik. Untuk memberi isyarat, "Hei, lihatlah kesini. Ada aku yang memperhatikanmu. Mengagumimu sekian lama, puluhan hari." Kali ini aku pamit untuk tidak lagi melakukan rutinitas ini.
Kita sama-sama berlari, aku berlari mengejarmu sedangkan kamu berlari ke arah yang lain. Tidak akan pernah bertemu pada titik yang sama. Maka kuputuskan untuk berhenti atau putar haluan pamit undur diri.
Bukan. Kamu salah kalau menebak aku tidak mencintaimu lagi. Masih dan akan selalu. Namun pada akhirnya aku harus mengalah pada logika. Pada serpihan nyata yang menyadarkan bahwa menyudahi perjuangan adalah sesuatu yang benar. Kamu bukan diciptakan untuk diperjuangkan olehku. Atau mungkin aku diciptakan bukan untuk memperjuangkanmu. Ah, barang kali itu yang benar:"). Maka pergilah kamu dengan santai, kini tak ada lagi aku yang mengejar. Kepada yang telah berlalu puluhan hari silam, mungkin memang lebih baik seperti ini. Kamu yang pergi dan aku yang enggan berjanji menunggumu kembali. Sebab sekarang, menyimpanmu dalam kenangan jauh lebih menyenangkan daripada memaksamu kembali hanya sekedar belas kasihan.
Apa kamu tak merindukanku? Sebagai satu yang meninggikanmu meng-iyakan pinta, mengabulkan doa yang kiranya aku mampu untuk menanggungnya. Mengalah pada logika yang sungguh dibatas logika. Memujamu sejatuh-jatuhnya, menjadikanmu ratu pada apa yang kusebut dunia. Sekarang mungkin kamu merindukanku tentu saja, sudah semestinya. Aku adalah setiap jawaban dari pertanyaanmu, aku adalah batas standar keinginanmu dan kupastikan tak akan ada seseorangpun yang mampu melampauiku. Iya, kamu menggantungkan hidupmu kepadaku, tanpa sedikitpun kamu sadari itu. Kamu terlalu terlena pada dunia yang sedikitpun tidak ada aku didalamnya. Kelak, urus saja rindu yang kau bilang mulai menyakiti; bukankah dulu ketika kamu mengabaikan ku pada setiap kesibukanmu akan menghancurkan dirimu sendiri?
Perlahan.
Pasti.
Dan aku mungkin tak akan perduli lagi.
Ini hanya sajakku yang telah lama menumpuk untuk dibaca olehmu.
Apa yang tersisa setelah kepergianmu?
Ponsel yang sunyi tanpa pesan masuk, layar ponsel yang selalu mati, tak ada panggilan darimu dan waktu demi waktu yang senang mengolok-olokku dengan kenangan bermunculan.
Apa yang tersisa setelah kepergianmu?
Lebih dari rasa sakit, hatiku hancur kehilangan percaya. Tak bisa membalas senyum, dan menutup pintu hati. Sekedar membukanya pun tak berani, apalagi membiarkan kesempatan untuk orang masuk.
Aku sudah berkemas
Hingga tidak ada yang bersisa
Tapi ruangannya tak lagi nyaman
Sebab rasaku telah di runtuhkan
Apa yang tersisa setelah kepergianmu?
Menumbuhkan cinta yang baru tidak akan semudah seperti awal aku mencintaimu.
Perihal cinta, ada kalanya tidak harus selalu bersama daripada ada hati yang semakin terluka karena berusaha untuk bertahan padahal sudah waktunya untuk meninggalkan. Bukan karena ingin, tapi di luar logika inilah cara terbaik untuk menghentikan luka. Kau tidak akan pernah mengerti cara cinta bekerja. Suatu hari nanti kamu akan melihatku sebagai orang asing. Seseorang yang dulu pernah kau beri ruang dalam hatimu. Seserang yang tak lagi mampu memberikan harapan kepadamu. Hidup telah mengalihkan semuanya. Namun yang tersisa, tak benar-benar punah adanya. Aku masih kau simpan di relung dadamu, dalam diam dan sepi dan ramai dalam harimu. Kau tidak pernah benar-benar melepaskanku. Katamu, ada perasaan yang tidak bisa dibunuh. Kita pernah saling berpisah raga sebab semesta. Tapi jiwaku dan jiwamu menyatu dalam sujud doa-doa. Kau mencintaiku dengan cinta yang paling tinggi. Kau masih merasa semuanya adalah milikmu yang tak bisa kau miliki. Biarlah semua berjalan sendiri-sendiri. Tapi semua yang ada dalam diriku, tak pernah pergi dalam dirimu. Melekat membatu. Sesekali datang sebagai rindu.
Aku? Sedang tidak baik-baik saja. Hatiku masih patah, rasa ku masih gelisah. Bahkan dalam diriku ada rasa resah yang tengah menggundah. Jadi tolong jangan pernah menanyakan apa kabar padaku. Sebab aku tak akan baik-baik saja. Tanpa dia.
Segenggam malam yang kelam tak pernah ingin ku antar untuk matamu yang siang. Biar aku saja yang terendam kesedihan dalam gelap bintang. Biar aku saja yang terluka, dan kau bahagia..
Bahkan aku ingin mengantar untukmu senja, sebagai lautan doa untukmu agar tetap bisa tertawa. Aku ingin kau berhenti untuk mengingatku sebagai setumpuk luka. Aku ingin kau berhenti mengingat namaku sebagai yang pernah ada:").
Biar saja aku disini hilang di antara entah. Gelap tanpa arah. Menangis gelisah, menanggung duka dalam kisah. Karena aku ingin kau bahagia dengan entah apapun caranya. Tak apa, jika kau harus menghapusku dalam ingatan. Tak apa pula, jika kau mencari seseorang yang lebih pantas mendampingi waktumu sesisa kehidupan. Aku akan mendoakanmu tanpa putus, sebab demi kau; kebahagiaan yang harus.
Tak apa, kasih..
Jika keberdamaan kita harus mati di tangan perpisahan. Sebab memilikimu kemarin, sudah cukup membuatku memahami indahnya pertemuan(bahkan perpisahan itu sendiri.)
-Kita, adalah dua hati yang sudah enggan bertegur harap dalam janji.-
Senin, 29 Mei 2017
Keadaan bukanlah alasan menyerah.
Beberapa orang berhenti menyapa bukan karena perasaannya berhenti; karena telah mencapai titik kesadaran untuk berhenti disakiti.
Semakin dalam kau mencinta, semakin dalam juga kau terluka..
Semakin kau mencinta dengan sabar, kau akan dibodohi dengan kasar...
Semakin lama kau menanti, semakin lama kau dikhianati..
Tak perlu kau paksa...
Menangis sajalah. Biarkan saja sekarang luka itu mematikanmu secara perlahan. Dan tunggu hingga kau tumbuh dan hidup di sesuatu yang baru.
Jangan bodoh. Bila kau sudah mencoba menjadi yang terbaik namun disia2kan. Bila kau telah berusaha namun diabaikan. Menangislah sesedih-sedihnya hingga nantinya kau bahagia selelah-lelahnya.
Pulanglah kepadaku, katakan semuanya baik-baik saja. Aku sudah terlalu jatuh menenangkan rindu ini. Aku sudah tertatih menyakinkan diri bahwa kamu tak benar-benar pergi. Jangan terlambat pulang, aku takut tak sanggup melalui sendiri segala petualang. Aku takut kita tersesat dan benar-benar hilang, kemarilah hanya sekedar sapa itu sudah menenangkan rindu yang terbenam saat kau dan aku menjadi kita. Tak jarang kita mencintai di waktu yang tak tepat, sedangkan sifat alaminya mengalir tak membutuhkan debat. Namun sepahit apapun kecewamu, sejatinya rasa tak pernah melukai. Hanya saja kita yang tak bisa memahami; mana yang abadi, dan mana yang hanya bunga mimpi. Aku berusaha kita tak perlu bertegur sapa, tidak pula perlu berkata mesra. Cukup aku menyebut namamu dalam istikharah dan do'a. Selain melangitkan do'a? Aku bisa apa? Memaksakan rasamu kepadaku? Aku tidak setega itu.
I miss you, but you seem just fine without me:)).
Bila kau susah melupakanku, ingatlah pesanku ini; kepalamu tak akan pernah bisa melupakan apa yang telah hatimu ingat. Aku mengambil kamera, mengabadikan beberapa momen yang semoga bisa menyapamu di linimasa. Sebab itu satu-satunya cara agar aku terlihat olehmu. Iya, aku memang benar-benar mencari perhatianmu.
Atas cinta yang kau bawa pergi. Atas rindu yang aku harap kembali.
Sampai di suatu hari dengan penuh sesal di benakmu akhirnya kau menyapaku. Aku tak peduli tentang dini hari, bagiku kau selalu pagi. Terserah pijar bintang atau syahdunya malam, aku katakan sekali lagi; bagiku, kau selalu pagi. Celakanya, hati tidak diciptakan untuk berpura-pura sehingga kenyataan hanya akan mengeruk lubang lebih dalam. Menyisakan ruang kosong di tengah-tengah hari, tanpa deretan manja darimu lagi. Bukan tentang kehilangan yang menyebabkan, tetapi aku benci menjadi seseorang yang dilewatkan.
Biar rindu membawamu pergi. Biar cinta
membawamu kembali.
Menanti bisa berarti mati. Tak akan hidup sampai kau kembali disini. Di tempat ketika kau pernah merebahkan lelah sembari bercerita tentang keseharian, di air mata yang pernah kau teteskan atas kekesalanmu menjalin hubungan. Tenang saja, kepadamu telingaku maupun kuotaku akan selalu tersedia tanpa perlu kau minta.
Sebab cinta menahan pergi. Sebab rindu menawarkan kembali.
Aku masih sibuk menggantungkan asap pada langit-langit, kepulan sesak yang aku nikmati di antara kepulanganmu yang aku harap kembali. Abu berserakan di atas meja yang pernah menjadi saksi pertemuan kita, berpadu dengan ukiran kayu membuntuk sebuah cerita. Jemariku berdenting pada cangkir kopi bertegur sapa membicarakan janji. Satu-satunya benda di sekitarku yang tak aku ajak bicara hanya gula. Untuk apa? Kau lebih manis dari sekedar butiran tebu yang terekstraksi. Ohiya, aku ingin menyampaikan sesuatu. Kau tahu beda kopi dengan rindu? Tak ada. Keduanya sama-sama pahit.
Karena cinta yang membawamu pergi, dan ternyata rindu tak cukup membawamu kembali. Sementara cinta dan rindu berpesta pora, biarkan aku menenggelamkan diri pada genangan lara.
Kapan terakhir kali kamu rindu? Kapan terakhir kali kamu merindukan seseorang? Sudah lama? Atau sudah lupa?
Meringkuk, memeluk khawatir atas kabar darinya yang tak kunjung mampir. Kita terbelenggu degub jantung sendiri, meretas gugup dan gemetar yang tak kunjung henti. Atas segala pertemuan yang selalu kamu keluhkan karena sebenrar, kita begitu kecanduan akan tawa masing-masing yang begitu mendebar. Muka kita akan saling menekuk kala berpisah, padahal esok hari kita sudah melempar cerita kembali. Kita begitu membingungkan waktu; iya, kita yang dahulu. Sebab karena waktu juga, diantara kita kini tak ada lagi saling sapa.
I will learn from all my mistakes, aku janji. Aku hanya ingin sekedar sapa, tidak lebih:)).
-Sekarang bantulah semua orang yang kau sayangi, agar membenciku kau tidak sendiri.-
Semakin dalam kau mencinta, semakin dalam juga kau terluka..
Semakin kau mencinta dengan sabar, kau akan dibodohi dengan kasar...
Semakin lama kau menanti, semakin lama kau dikhianati..
Tak perlu kau paksa...
Menangis sajalah. Biarkan saja sekarang luka itu mematikanmu secara perlahan. Dan tunggu hingga kau tumbuh dan hidup di sesuatu yang baru.
Jangan bodoh. Bila kau sudah mencoba menjadi yang terbaik namun disia2kan. Bila kau telah berusaha namun diabaikan. Menangislah sesedih-sedihnya hingga nantinya kau bahagia selelah-lelahnya.
Pulanglah kepadaku, katakan semuanya baik-baik saja. Aku sudah terlalu jatuh menenangkan rindu ini. Aku sudah tertatih menyakinkan diri bahwa kamu tak benar-benar pergi. Jangan terlambat pulang, aku takut tak sanggup melalui sendiri segala petualang. Aku takut kita tersesat dan benar-benar hilang, kemarilah hanya sekedar sapa itu sudah menenangkan rindu yang terbenam saat kau dan aku menjadi kita. Tak jarang kita mencintai di waktu yang tak tepat, sedangkan sifat alaminya mengalir tak membutuhkan debat. Namun sepahit apapun kecewamu, sejatinya rasa tak pernah melukai. Hanya saja kita yang tak bisa memahami; mana yang abadi, dan mana yang hanya bunga mimpi. Aku berusaha kita tak perlu bertegur sapa, tidak pula perlu berkata mesra. Cukup aku menyebut namamu dalam istikharah dan do'a. Selain melangitkan do'a? Aku bisa apa? Memaksakan rasamu kepadaku? Aku tidak setega itu.
I miss you, but you seem just fine without me:)).
Bila kau susah melupakanku, ingatlah pesanku ini; kepalamu tak akan pernah bisa melupakan apa yang telah hatimu ingat. Aku mengambil kamera, mengabadikan beberapa momen yang semoga bisa menyapamu di linimasa. Sebab itu satu-satunya cara agar aku terlihat olehmu. Iya, aku memang benar-benar mencari perhatianmu.
Atas cinta yang kau bawa pergi. Atas rindu yang aku harap kembali.
Sampai di suatu hari dengan penuh sesal di benakmu akhirnya kau menyapaku. Aku tak peduli tentang dini hari, bagiku kau selalu pagi. Terserah pijar bintang atau syahdunya malam, aku katakan sekali lagi; bagiku, kau selalu pagi. Celakanya, hati tidak diciptakan untuk berpura-pura sehingga kenyataan hanya akan mengeruk lubang lebih dalam. Menyisakan ruang kosong di tengah-tengah hari, tanpa deretan manja darimu lagi. Bukan tentang kehilangan yang menyebabkan, tetapi aku benci menjadi seseorang yang dilewatkan.
Biar rindu membawamu pergi. Biar cinta
membawamu kembali.
Menanti bisa berarti mati. Tak akan hidup sampai kau kembali disini. Di tempat ketika kau pernah merebahkan lelah sembari bercerita tentang keseharian, di air mata yang pernah kau teteskan atas kekesalanmu menjalin hubungan. Tenang saja, kepadamu telingaku maupun kuotaku akan selalu tersedia tanpa perlu kau minta.
Sebab cinta menahan pergi. Sebab rindu menawarkan kembali.
Aku masih sibuk menggantungkan asap pada langit-langit, kepulan sesak yang aku nikmati di antara kepulanganmu yang aku harap kembali. Abu berserakan di atas meja yang pernah menjadi saksi pertemuan kita, berpadu dengan ukiran kayu membuntuk sebuah cerita. Jemariku berdenting pada cangkir kopi bertegur sapa membicarakan janji. Satu-satunya benda di sekitarku yang tak aku ajak bicara hanya gula. Untuk apa? Kau lebih manis dari sekedar butiran tebu yang terekstraksi. Ohiya, aku ingin menyampaikan sesuatu. Kau tahu beda kopi dengan rindu? Tak ada. Keduanya sama-sama pahit.
Karena cinta yang membawamu pergi, dan ternyata rindu tak cukup membawamu kembali. Sementara cinta dan rindu berpesta pora, biarkan aku menenggelamkan diri pada genangan lara.
Kapan terakhir kali kamu rindu? Kapan terakhir kali kamu merindukan seseorang? Sudah lama? Atau sudah lupa?
Meringkuk, memeluk khawatir atas kabar darinya yang tak kunjung mampir. Kita terbelenggu degub jantung sendiri, meretas gugup dan gemetar yang tak kunjung henti. Atas segala pertemuan yang selalu kamu keluhkan karena sebenrar, kita begitu kecanduan akan tawa masing-masing yang begitu mendebar. Muka kita akan saling menekuk kala berpisah, padahal esok hari kita sudah melempar cerita kembali. Kita begitu membingungkan waktu; iya, kita yang dahulu. Sebab karena waktu juga, diantara kita kini tak ada lagi saling sapa.
I will learn from all my mistakes, aku janji. Aku hanya ingin sekedar sapa, tidak lebih:)).
-Sekarang bantulah semua orang yang kau sayangi, agar membenciku kau tidak sendiri.-
Kamis, 04 Mei 2017
Bimbang; Chatnya dengan siapa, jadiannya dengan siapa.
Bila kau sedang dekat dengan seseorang, menjadi yang pertama dikabari saat dia sedang ada masalah, menjadi saksi berbagai prestasi yang tak henti dia ceritakan, atau menjadi kawan penghabis waktu dari senja hingga ufuk rindu, maka ketahuilah bahwa hatimu sedang berada dalam bahaya. Lewat tulisan ini aku hadir bukan untuk menyelamatkanmu, melainkan membawa kesadaranmu menyelami luka lebih dalam. Sebab kedekatan sering kali mematikan nalar, membius lewat kenyamanan, membunuh lewat pujian. Ketahuilah, sekali pun dia tak pernah menginginkanmu. Dia hanya benci sendiri, keangkuhannya butuh ditemani, dan hatinya butuh disanjung atas berbagai kisah perih yang pernah dia lewati.
Senja menjemput malam, hati menjemput kelam.
Nyatanya, bukan kau 'kan yang selama ini dia ceritakan sebagai kesayangan?
Mari kita telaah lebih jauh. Suatu hubungan indah bila yang terjadi adalah saling, bukan sekedar yang paling. Kau dan dia sadar untuk menjalani peran dengan aktif dan partisipatif. Setiap cerita, kejadian, gagasan, mimpi, pencapaian, hingga lelah seharian, kau dan dia bergantian mengisi kesepian. Saat menangis, tertampunglah air mata. Begitu pula saat bahagia, terbagi dengan bijaksana. Tidak ada yang berlebihan. Semua terbagi secara optimal tanpa mengerdilkan potensi hangatnya kebersamaan.
Lalu bila kau ketahui tidak pernah ada kesempatan sama saat kau dan dia duduk di satu meja, sudah sepantasnya kau bunyikan sirine tanda bahaya. Berjam-jam kau dengarkan keluh kesahnya, menanggapi hal-hal asing yang sebenarnya kau tak begitu peduli, membawanya ke tempat-tempat menenangkan, memberi rasa aman, menyiapkan jaket saat dia kedinginan, antar jemput kostan tepat waktu, hingga melewatkan pertemuan besar hanya untuk dia seorang. Iya, untuk dia yang bahkan sekali saja kau mencoba membuka topik tentang dirimu dia langsung mengalihkan ke pembahasan lain! Gila, sengeri inikah kau mendamba hati yang belum tentu bisa kau miliki?
Nyatanya, bukan kau 'kan yang selama ini dia ceritakan sebagai kesayangan?
Begini, tahan dulu emosi. Coba buka rentetan chatting-mu dengannya, baca. Siapa yang paling meledak-ledak saat menceritakan sesuatu? Berapa alinea perbandingan saat ada pembahasan? Siapa yang paling berdebar menunggu balasan hingga jeda bernapas saja jadi sebuah masalah? Dan siapa yang paling terpukul kala setiap pesan berganti tak pernah ditanggapi? Lihat baik-baik. Bila ada yang terlihat paling dominan, maka ada yang harus dilakukan. Ah, begini saja. Siapa yang meminta waktu lebih? Yang tak mau tahu urusan orang, pokoknya detik itu juga tidak boleh ada yang lebih penting dari dirinya. Siapa? Ayo, coba, siapa? Begitu ponsel berdering harus segera diangkat dan tidak boleh ada suara lain selain yang menelpon tersebut. Kau tahu itu siapa, kau tahu semua itu kenapa, kau tetap bertahan? Ya, kau sering menyebutnya cinta.
Saat kau dibutuhkan kau harus segera datang, ketika kau butuh pertolongan pesanmu seakan menghilang. Tidak lama kemudian kau temukan pesan berhias maaf dan ajakan ketemuan, atau minimal diminta menemani makan. Lagi-lagi kau harus mendengar ceritanya dan dengan dalih tak enak hati kau tetap setia untuknya. Saking seringnya kau ada untuknya sehari tak direpotkan seperti ada yang kurang. Kau mulai menanyakan kabarnya, dia tanggapi dengan menanyakan posisi, kau sudah siap berangkat, lalu dia menghilang lagi. Ini yang paling menyita logika berpikirku. Kenapa bisa ada seseorang yang mengajak bertemu, begitu sudah siap untuk ditemui, tiba-tiba dia tidak bisa dihubungi? Itu kenapa? Kok ada sih orang-orang yang memainkan khawatir sebegitu hebatnya?
Ambil kendaraanmu segera, terutama yang sering kau gunakan untuk mengantar jemput raganya. Telusuri semua tempat di kotamu. Lihat, di situ, iya, di kedai kopi, warung makan, cafe hits, tempat-tempat yang pernah kau sangka akan menjadi gerbang terbukanya hatinya untukmu itu hanya sekedar saksi bisu. Apa? Suap-suapan? Saling sentuh hidung? Cubit pipi? Membaca garis tangan masing-masing? Saling menatap lama sambil tersenyum? Senggol-senggol manja? Itu hanya ada di sekitarmu. Sudahlah. Dia hanya benci sendiri, bukan ingin dilengkapi.
Nyatanya, bukan kau 'kan yang selama ini dia ceritakan sebagai kesayangan?
Bagaimana? Nikmat bukan rasanya bertahan dalam kesakitan? Mantap betul. Hebat loh itu hatimu bisa bertahan begitu lama menyaksikan tumbuh kembang sakitnya. Tunas muncul, bunga semerbak harum, matang buah sedap nan ranum. Kau yang merawatnya, menyirami setiap hari tanpa mengeluh, memupuk dengan sabar, membanggakan ke setiap orang, kau unggah di instastories, kau kicaukan di twitter, kau jadikan kebanggaan di Path, hingga tiba waktu panen, kau memetiknya namun bukan kau yang merasakan manisnya.
-Dia tidak mencintaimu. Dia hanya sedang kesepian dan kebetulan ada kamu.
Nyatanya, bukan kau 'kan yang selama ini dia ceritakan sebagai kesayangan.-
Senja menjemput malam, hati menjemput kelam.
Nyatanya, bukan kau 'kan yang selama ini dia ceritakan sebagai kesayangan?
Mari kita telaah lebih jauh. Suatu hubungan indah bila yang terjadi adalah saling, bukan sekedar yang paling. Kau dan dia sadar untuk menjalani peran dengan aktif dan partisipatif. Setiap cerita, kejadian, gagasan, mimpi, pencapaian, hingga lelah seharian, kau dan dia bergantian mengisi kesepian. Saat menangis, tertampunglah air mata. Begitu pula saat bahagia, terbagi dengan bijaksana. Tidak ada yang berlebihan. Semua terbagi secara optimal tanpa mengerdilkan potensi hangatnya kebersamaan.
Lalu bila kau ketahui tidak pernah ada kesempatan sama saat kau dan dia duduk di satu meja, sudah sepantasnya kau bunyikan sirine tanda bahaya. Berjam-jam kau dengarkan keluh kesahnya, menanggapi hal-hal asing yang sebenarnya kau tak begitu peduli, membawanya ke tempat-tempat menenangkan, memberi rasa aman, menyiapkan jaket saat dia kedinginan, antar jemput kostan tepat waktu, hingga melewatkan pertemuan besar hanya untuk dia seorang. Iya, untuk dia yang bahkan sekali saja kau mencoba membuka topik tentang dirimu dia langsung mengalihkan ke pembahasan lain! Gila, sengeri inikah kau mendamba hati yang belum tentu bisa kau miliki?
Nyatanya, bukan kau 'kan yang selama ini dia ceritakan sebagai kesayangan?
Begini, tahan dulu emosi. Coba buka rentetan chatting-mu dengannya, baca. Siapa yang paling meledak-ledak saat menceritakan sesuatu? Berapa alinea perbandingan saat ada pembahasan? Siapa yang paling berdebar menunggu balasan hingga jeda bernapas saja jadi sebuah masalah? Dan siapa yang paling terpukul kala setiap pesan berganti tak pernah ditanggapi? Lihat baik-baik. Bila ada yang terlihat paling dominan, maka ada yang harus dilakukan. Ah, begini saja. Siapa yang meminta waktu lebih? Yang tak mau tahu urusan orang, pokoknya detik itu juga tidak boleh ada yang lebih penting dari dirinya. Siapa? Ayo, coba, siapa? Begitu ponsel berdering harus segera diangkat dan tidak boleh ada suara lain selain yang menelpon tersebut. Kau tahu itu siapa, kau tahu semua itu kenapa, kau tetap bertahan? Ya, kau sering menyebutnya cinta.
Saat kau dibutuhkan kau harus segera datang, ketika kau butuh pertolongan pesanmu seakan menghilang. Tidak lama kemudian kau temukan pesan berhias maaf dan ajakan ketemuan, atau minimal diminta menemani makan. Lagi-lagi kau harus mendengar ceritanya dan dengan dalih tak enak hati kau tetap setia untuknya. Saking seringnya kau ada untuknya sehari tak direpotkan seperti ada yang kurang. Kau mulai menanyakan kabarnya, dia tanggapi dengan menanyakan posisi, kau sudah siap berangkat, lalu dia menghilang lagi. Ini yang paling menyita logika berpikirku. Kenapa bisa ada seseorang yang mengajak bertemu, begitu sudah siap untuk ditemui, tiba-tiba dia tidak bisa dihubungi? Itu kenapa? Kok ada sih orang-orang yang memainkan khawatir sebegitu hebatnya?
Ambil kendaraanmu segera, terutama yang sering kau gunakan untuk mengantar jemput raganya. Telusuri semua tempat di kotamu. Lihat, di situ, iya, di kedai kopi, warung makan, cafe hits, tempat-tempat yang pernah kau sangka akan menjadi gerbang terbukanya hatinya untukmu itu hanya sekedar saksi bisu. Apa? Suap-suapan? Saling sentuh hidung? Cubit pipi? Membaca garis tangan masing-masing? Saling menatap lama sambil tersenyum? Senggol-senggol manja? Itu hanya ada di sekitarmu. Sudahlah. Dia hanya benci sendiri, bukan ingin dilengkapi.
Nyatanya, bukan kau 'kan yang selama ini dia ceritakan sebagai kesayangan?
Bagaimana? Nikmat bukan rasanya bertahan dalam kesakitan? Mantap betul. Hebat loh itu hatimu bisa bertahan begitu lama menyaksikan tumbuh kembang sakitnya. Tunas muncul, bunga semerbak harum, matang buah sedap nan ranum. Kau yang merawatnya, menyirami setiap hari tanpa mengeluh, memupuk dengan sabar, membanggakan ke setiap orang, kau unggah di instastories, kau kicaukan di twitter, kau jadikan kebanggaan di Path, hingga tiba waktu panen, kau memetiknya namun bukan kau yang merasakan manisnya.
-Dia tidak mencintaimu. Dia hanya sedang kesepian dan kebetulan ada kamu.
Nyatanya, bukan kau 'kan yang selama ini dia ceritakan sebagai kesayangan.-
Langganan:
Postingan (Atom)