Beberapa orang berhenti menyapa bukan karena perasaannya berhenti; karena telah mencapai titik kesadaran untuk berhenti disakiti.
Semakin dalam kau mencinta, semakin dalam juga kau terluka..
Semakin kau mencinta dengan sabar, kau akan dibodohi dengan kasar...
Semakin lama kau menanti, semakin lama kau dikhianati..
Tak perlu kau paksa...
Menangis sajalah. Biarkan saja sekarang luka itu mematikanmu secara perlahan. Dan tunggu hingga kau tumbuh dan hidup di sesuatu yang baru.
Jangan bodoh. Bila kau sudah mencoba menjadi yang terbaik namun disia2kan. Bila kau telah berusaha namun diabaikan. Menangislah sesedih-sedihnya hingga nantinya kau bahagia selelah-lelahnya.
Pulanglah kepadaku, katakan semuanya baik-baik saja. Aku sudah terlalu jatuh menenangkan rindu ini. Aku sudah tertatih menyakinkan diri bahwa kamu tak benar-benar pergi. Jangan terlambat pulang, aku takut tak sanggup melalui sendiri segala petualang. Aku takut kita tersesat dan benar-benar hilang, kemarilah hanya sekedar sapa itu sudah menenangkan rindu yang terbenam saat kau dan aku menjadi kita. Tak jarang kita mencintai di waktu yang tak tepat, sedangkan sifat alaminya mengalir tak membutuhkan debat. Namun sepahit apapun kecewamu, sejatinya rasa tak pernah melukai. Hanya saja kita yang tak bisa memahami; mana yang abadi, dan mana yang hanya bunga mimpi. Aku berusaha kita tak perlu bertegur sapa, tidak pula perlu berkata mesra. Cukup aku menyebut namamu dalam istikharah dan do'a. Selain melangitkan do'a? Aku bisa apa? Memaksakan rasamu kepadaku? Aku tidak setega itu.
I miss you, but you seem just fine without me:)).
Bila kau susah melupakanku, ingatlah pesanku ini; kepalamu tak akan pernah bisa melupakan apa yang telah hatimu ingat. Aku mengambil kamera, mengabadikan beberapa momen yang semoga bisa menyapamu di linimasa. Sebab itu satu-satunya cara agar aku terlihat olehmu. Iya, aku memang benar-benar mencari perhatianmu.
Atas cinta yang kau bawa pergi. Atas rindu yang aku harap kembali.
Sampai di suatu hari dengan penuh sesal di benakmu akhirnya kau menyapaku. Aku tak peduli tentang dini hari, bagiku kau selalu pagi. Terserah pijar bintang atau syahdunya malam, aku katakan sekali lagi; bagiku, kau selalu pagi. Celakanya, hati tidak diciptakan untuk berpura-pura sehingga kenyataan hanya akan mengeruk lubang lebih dalam. Menyisakan ruang kosong di tengah-tengah hari, tanpa deretan manja darimu lagi. Bukan tentang kehilangan yang menyebabkan, tetapi aku benci menjadi seseorang yang dilewatkan.
Biar rindu membawamu pergi. Biar cinta
membawamu kembali.
Menanti bisa berarti mati. Tak akan hidup sampai kau kembali disini. Di tempat ketika kau pernah merebahkan lelah sembari bercerita tentang keseharian, di air mata yang pernah kau teteskan atas kekesalanmu menjalin hubungan. Tenang saja, kepadamu telingaku maupun kuotaku akan selalu tersedia tanpa perlu kau minta.
Sebab cinta menahan pergi. Sebab rindu menawarkan kembali.
Aku masih sibuk menggantungkan asap pada langit-langit, kepulan sesak yang aku nikmati di antara kepulanganmu yang aku harap kembali. Abu berserakan di atas meja yang pernah menjadi saksi pertemuan kita, berpadu dengan ukiran kayu membuntuk sebuah cerita. Jemariku berdenting pada cangkir kopi bertegur sapa membicarakan janji. Satu-satunya benda di sekitarku yang tak aku ajak bicara hanya gula. Untuk apa? Kau lebih manis dari sekedar butiran tebu yang terekstraksi. Ohiya, aku ingin menyampaikan sesuatu. Kau tahu beda kopi dengan rindu? Tak ada. Keduanya sama-sama pahit.
Karena cinta yang membawamu pergi, dan ternyata rindu tak cukup membawamu kembali. Sementara cinta dan rindu berpesta pora, biarkan aku menenggelamkan diri pada genangan lara.
Kapan terakhir kali kamu rindu? Kapan terakhir kali kamu merindukan seseorang? Sudah lama? Atau sudah lupa?
Meringkuk, memeluk khawatir atas kabar darinya yang tak kunjung mampir. Kita terbelenggu degub jantung sendiri, meretas gugup dan gemetar yang tak kunjung henti. Atas segala pertemuan yang selalu kamu keluhkan karena sebenrar, kita begitu kecanduan akan tawa masing-masing yang begitu mendebar. Muka kita akan saling menekuk kala berpisah, padahal esok hari kita sudah melempar cerita kembali. Kita begitu membingungkan waktu; iya, kita yang dahulu. Sebab karena waktu juga, diantara kita kini tak ada lagi saling sapa.
I will learn from all my mistakes, aku janji. Aku hanya ingin sekedar sapa, tidak lebih:)).
-Sekarang bantulah semua orang yang kau sayangi, agar membenciku kau tidak sendiri.-
Senin, 29 Mei 2017
Kamis, 04 Mei 2017
Bimbang; Chatnya dengan siapa, jadiannya dengan siapa.
Bila kau sedang dekat dengan seseorang, menjadi yang pertama dikabari saat dia sedang ada masalah, menjadi saksi berbagai prestasi yang tak henti dia ceritakan, atau menjadi kawan penghabis waktu dari senja hingga ufuk rindu, maka ketahuilah bahwa hatimu sedang berada dalam bahaya. Lewat tulisan ini aku hadir bukan untuk menyelamatkanmu, melainkan membawa kesadaranmu menyelami luka lebih dalam. Sebab kedekatan sering kali mematikan nalar, membius lewat kenyamanan, membunuh lewat pujian. Ketahuilah, sekali pun dia tak pernah menginginkanmu. Dia hanya benci sendiri, keangkuhannya butuh ditemani, dan hatinya butuh disanjung atas berbagai kisah perih yang pernah dia lewati.
Senja menjemput malam, hati menjemput kelam.
Nyatanya, bukan kau 'kan yang selama ini dia ceritakan sebagai kesayangan?
Mari kita telaah lebih jauh. Suatu hubungan indah bila yang terjadi adalah saling, bukan sekedar yang paling. Kau dan dia sadar untuk menjalani peran dengan aktif dan partisipatif. Setiap cerita, kejadian, gagasan, mimpi, pencapaian, hingga lelah seharian, kau dan dia bergantian mengisi kesepian. Saat menangis, tertampunglah air mata. Begitu pula saat bahagia, terbagi dengan bijaksana. Tidak ada yang berlebihan. Semua terbagi secara optimal tanpa mengerdilkan potensi hangatnya kebersamaan.
Lalu bila kau ketahui tidak pernah ada kesempatan sama saat kau dan dia duduk di satu meja, sudah sepantasnya kau bunyikan sirine tanda bahaya. Berjam-jam kau dengarkan keluh kesahnya, menanggapi hal-hal asing yang sebenarnya kau tak begitu peduli, membawanya ke tempat-tempat menenangkan, memberi rasa aman, menyiapkan jaket saat dia kedinginan, antar jemput kostan tepat waktu, hingga melewatkan pertemuan besar hanya untuk dia seorang. Iya, untuk dia yang bahkan sekali saja kau mencoba membuka topik tentang dirimu dia langsung mengalihkan ke pembahasan lain! Gila, sengeri inikah kau mendamba hati yang belum tentu bisa kau miliki?
Nyatanya, bukan kau 'kan yang selama ini dia ceritakan sebagai kesayangan?
Begini, tahan dulu emosi. Coba buka rentetan chatting-mu dengannya, baca. Siapa yang paling meledak-ledak saat menceritakan sesuatu? Berapa alinea perbandingan saat ada pembahasan? Siapa yang paling berdebar menunggu balasan hingga jeda bernapas saja jadi sebuah masalah? Dan siapa yang paling terpukul kala setiap pesan berganti tak pernah ditanggapi? Lihat baik-baik. Bila ada yang terlihat paling dominan, maka ada yang harus dilakukan. Ah, begini saja. Siapa yang meminta waktu lebih? Yang tak mau tahu urusan orang, pokoknya detik itu juga tidak boleh ada yang lebih penting dari dirinya. Siapa? Ayo, coba, siapa? Begitu ponsel berdering harus segera diangkat dan tidak boleh ada suara lain selain yang menelpon tersebut. Kau tahu itu siapa, kau tahu semua itu kenapa, kau tetap bertahan? Ya, kau sering menyebutnya cinta.
Saat kau dibutuhkan kau harus segera datang, ketika kau butuh pertolongan pesanmu seakan menghilang. Tidak lama kemudian kau temukan pesan berhias maaf dan ajakan ketemuan, atau minimal diminta menemani makan. Lagi-lagi kau harus mendengar ceritanya dan dengan dalih tak enak hati kau tetap setia untuknya. Saking seringnya kau ada untuknya sehari tak direpotkan seperti ada yang kurang. Kau mulai menanyakan kabarnya, dia tanggapi dengan menanyakan posisi, kau sudah siap berangkat, lalu dia menghilang lagi. Ini yang paling menyita logika berpikirku. Kenapa bisa ada seseorang yang mengajak bertemu, begitu sudah siap untuk ditemui, tiba-tiba dia tidak bisa dihubungi? Itu kenapa? Kok ada sih orang-orang yang memainkan khawatir sebegitu hebatnya?
Ambil kendaraanmu segera, terutama yang sering kau gunakan untuk mengantar jemput raganya. Telusuri semua tempat di kotamu. Lihat, di situ, iya, di kedai kopi, warung makan, cafe hits, tempat-tempat yang pernah kau sangka akan menjadi gerbang terbukanya hatinya untukmu itu hanya sekedar saksi bisu. Apa? Suap-suapan? Saling sentuh hidung? Cubit pipi? Membaca garis tangan masing-masing? Saling menatap lama sambil tersenyum? Senggol-senggol manja? Itu hanya ada di sekitarmu. Sudahlah. Dia hanya benci sendiri, bukan ingin dilengkapi.
Nyatanya, bukan kau 'kan yang selama ini dia ceritakan sebagai kesayangan?
Bagaimana? Nikmat bukan rasanya bertahan dalam kesakitan? Mantap betul. Hebat loh itu hatimu bisa bertahan begitu lama menyaksikan tumbuh kembang sakitnya. Tunas muncul, bunga semerbak harum, matang buah sedap nan ranum. Kau yang merawatnya, menyirami setiap hari tanpa mengeluh, memupuk dengan sabar, membanggakan ke setiap orang, kau unggah di instastories, kau kicaukan di twitter, kau jadikan kebanggaan di Path, hingga tiba waktu panen, kau memetiknya namun bukan kau yang merasakan manisnya.
-Dia tidak mencintaimu. Dia hanya sedang kesepian dan kebetulan ada kamu.
Nyatanya, bukan kau 'kan yang selama ini dia ceritakan sebagai kesayangan.-
Senja menjemput malam, hati menjemput kelam.
Nyatanya, bukan kau 'kan yang selama ini dia ceritakan sebagai kesayangan?
Mari kita telaah lebih jauh. Suatu hubungan indah bila yang terjadi adalah saling, bukan sekedar yang paling. Kau dan dia sadar untuk menjalani peran dengan aktif dan partisipatif. Setiap cerita, kejadian, gagasan, mimpi, pencapaian, hingga lelah seharian, kau dan dia bergantian mengisi kesepian. Saat menangis, tertampunglah air mata. Begitu pula saat bahagia, terbagi dengan bijaksana. Tidak ada yang berlebihan. Semua terbagi secara optimal tanpa mengerdilkan potensi hangatnya kebersamaan.
Lalu bila kau ketahui tidak pernah ada kesempatan sama saat kau dan dia duduk di satu meja, sudah sepantasnya kau bunyikan sirine tanda bahaya. Berjam-jam kau dengarkan keluh kesahnya, menanggapi hal-hal asing yang sebenarnya kau tak begitu peduli, membawanya ke tempat-tempat menenangkan, memberi rasa aman, menyiapkan jaket saat dia kedinginan, antar jemput kostan tepat waktu, hingga melewatkan pertemuan besar hanya untuk dia seorang. Iya, untuk dia yang bahkan sekali saja kau mencoba membuka topik tentang dirimu dia langsung mengalihkan ke pembahasan lain! Gila, sengeri inikah kau mendamba hati yang belum tentu bisa kau miliki?
Nyatanya, bukan kau 'kan yang selama ini dia ceritakan sebagai kesayangan?
Begini, tahan dulu emosi. Coba buka rentetan chatting-mu dengannya, baca. Siapa yang paling meledak-ledak saat menceritakan sesuatu? Berapa alinea perbandingan saat ada pembahasan? Siapa yang paling berdebar menunggu balasan hingga jeda bernapas saja jadi sebuah masalah? Dan siapa yang paling terpukul kala setiap pesan berganti tak pernah ditanggapi? Lihat baik-baik. Bila ada yang terlihat paling dominan, maka ada yang harus dilakukan. Ah, begini saja. Siapa yang meminta waktu lebih? Yang tak mau tahu urusan orang, pokoknya detik itu juga tidak boleh ada yang lebih penting dari dirinya. Siapa? Ayo, coba, siapa? Begitu ponsel berdering harus segera diangkat dan tidak boleh ada suara lain selain yang menelpon tersebut. Kau tahu itu siapa, kau tahu semua itu kenapa, kau tetap bertahan? Ya, kau sering menyebutnya cinta.
Saat kau dibutuhkan kau harus segera datang, ketika kau butuh pertolongan pesanmu seakan menghilang. Tidak lama kemudian kau temukan pesan berhias maaf dan ajakan ketemuan, atau minimal diminta menemani makan. Lagi-lagi kau harus mendengar ceritanya dan dengan dalih tak enak hati kau tetap setia untuknya. Saking seringnya kau ada untuknya sehari tak direpotkan seperti ada yang kurang. Kau mulai menanyakan kabarnya, dia tanggapi dengan menanyakan posisi, kau sudah siap berangkat, lalu dia menghilang lagi. Ini yang paling menyita logika berpikirku. Kenapa bisa ada seseorang yang mengajak bertemu, begitu sudah siap untuk ditemui, tiba-tiba dia tidak bisa dihubungi? Itu kenapa? Kok ada sih orang-orang yang memainkan khawatir sebegitu hebatnya?
Ambil kendaraanmu segera, terutama yang sering kau gunakan untuk mengantar jemput raganya. Telusuri semua tempat di kotamu. Lihat, di situ, iya, di kedai kopi, warung makan, cafe hits, tempat-tempat yang pernah kau sangka akan menjadi gerbang terbukanya hatinya untukmu itu hanya sekedar saksi bisu. Apa? Suap-suapan? Saling sentuh hidung? Cubit pipi? Membaca garis tangan masing-masing? Saling menatap lama sambil tersenyum? Senggol-senggol manja? Itu hanya ada di sekitarmu. Sudahlah. Dia hanya benci sendiri, bukan ingin dilengkapi.
Nyatanya, bukan kau 'kan yang selama ini dia ceritakan sebagai kesayangan?
Bagaimana? Nikmat bukan rasanya bertahan dalam kesakitan? Mantap betul. Hebat loh itu hatimu bisa bertahan begitu lama menyaksikan tumbuh kembang sakitnya. Tunas muncul, bunga semerbak harum, matang buah sedap nan ranum. Kau yang merawatnya, menyirami setiap hari tanpa mengeluh, memupuk dengan sabar, membanggakan ke setiap orang, kau unggah di instastories, kau kicaukan di twitter, kau jadikan kebanggaan di Path, hingga tiba waktu panen, kau memetiknya namun bukan kau yang merasakan manisnya.
-Dia tidak mencintaimu. Dia hanya sedang kesepian dan kebetulan ada kamu.
Nyatanya, bukan kau 'kan yang selama ini dia ceritakan sebagai kesayangan.-
Langganan:
Postingan (Atom)